Segalanya Pasti Berujung #1
Kecelakaan
itu merenggut semuanya dari hidup Narita. Ayah, Ibu, dan kebahagiaan masa
kecilnya. Harus menghadapi kenyataan itu di usia 10 tahun bukanlah hal yang
mudah bagi Narita. Apalagi dia hanya memiliki seorang nenek yang usianya juga
sudah sangat tua dan hanya bekerja sebagai seorang pembuat tikar anyaman dari
bambu. Sejak meninggalnya ayah dan ibu Narita, ia tinggal bersama neneknya dan
mengandalkan warisan harta orang tuanya untuk bertahan hidup dan melanjutkan
pendidikan.
Cobaan
itu tak lantas menjadikan Narita sosok yang lemah tetapi dia justru menjadi
kuat dan mandiri. Dia menjadi dewasa lebih cepat dari usia yang sesungguhnya.
Dia terbiasa bekerja keras mencari uang tambahan dan tidak menjadi anak yang
manja.
Nenek
Narita meninggal saat usia Narita 12 tahun. Usia yang masih terlalu muda untuk
hidup sebatang kara di dunia seluas ini.
Narita
melanjutkan hidupnya dengan jatuh bangun dan semua halang rintangnya untuk
sekedar bertahan hidup. Dengan sisa warisan yang sudah tidak banyak lagi dan uang
hasil kerja paruh waktunya di sebuah toko milik tetangganya, Narita
bercita-cita untuk menyelesaikan sekolah SMP nya dan akan terus berjuang agar
bisa lanjut ke SMA.
Segala
macam usaha dijalani oleh Narita demi menyelesaikan SMP nya. Menjaga toko, loper
koran, menjajakan gorengan buatannya sendiri, sebagai tukang ketik di rental
komputer, guru les anak SD, guru privat menari, sampai tukang cuci pun pernah
dilakoninya demi melanjutkan hidup dan menyelesaikan sekolahnya. Ejekan dan
hinaan teman sekolahnya sudah tak ia gubris lagi. Dia sudah kenyang dengan
segala macam cacian, makian, umpatan, sumpah serapah, hinaan, bahkan tamparan
pun pernah ia terima karena statusnya yang memang sungguh mengenaskan itu.
Walaupun sebenarnya masih ada Reza yang selalu membelanya. Tapi Narita justru
menanggapi dingin bantuan Reza.
Reza
adalah kakak kelas Narita yang sudah memiliki rasa pada Narita sejak Narita
masuk ke SMP yang sama dengannya. Dia selalu menjadi sosok pahlawan saat Narita
dalam kesulitan. Karena itu pula Narita pun memiliki perasaan yang sama pada
Reza. Tapi Narita justru membohongi perasaannya sendiri karena perbedaan status
mereka yang amat drastis. Ia justru menjauhi Reza karena merasa dia yang miskin
ini tak pantas bagi Reza yang orang tuanya adalah seorang konglomerat. Apalagi
Reza adalah cowok idaman para cewek di SMP tempat ia sekolah. Tak mungkin dia
mampu bersaing dengan anak-anak orang kaya yang cantik-cantik itu. Dia tak
pernah mengungkapkan perasaannya pada Reza dan juga tak pernah memberikan kesempatan
bagi Reza untuk mengungkapkan perasaannya. Narita tak pernah bertemu lagi
dengan Reza sejak Reza lulus, sedangkan Narita baru kelas 8. Reza dan
perasaannya hanya berlalu sebagai kenangan.
Kerja
keras Narita terbayarkan oleh prestasi yang dicapainya saat lulus SMP. Dia
berhasil menduduki peringkat pertama paralel di sekolahnya. Karena prestasinya
itulah ada sebuah keluarga kaya yang mengangkatnya sebagai anak dan
menyekolahkan Narita di sebuah SMA favorit.
Kehidupan
Narita memang berubah 180 derajat. Sekarang hidupnya serba berkecukupan tanpa
takut kekurangan. Segala fasilitas telah dipenuhi oleh kedua orang tua
angkatnya kecuali satu, yaitu kasih sayang. Ortu Narita sekarang tinggal di
Sidney kerena urusan pekerjaan dan hanya pulang ke Indonesia saat Hari
Raya alias setahun sekali. Bukan karena hemat ongkos ataupun tak ada waktu.
Tapi mungkin mereka lebih senang mengumpulkan uang disana daripada sekedar
menemani anak angkatnya yang mereka anggap sudah bisa hidup tanpa mereka.
Narita tidak mau ikut dengan mereka karena dia lebih suka tinggal di Indonesia
walaupun akhirnya dia merasa kesepian.
Sekarang
Narita sudah kelas XI. Sudah 2 tahun ini Narita menempati rumahnya yang luas
bagai istana hanya bersama pembantu dan supirnya ditambah lagi satu orang
satpam.
>>>>>>>>>>
Entah
mengapa hawa-hawa suram dari dalam rumah itu terpancar begitu kuat bahkan hanya
dengan menginjakkan kaki di halamannya saja. Sebuah rumah besar bercat kuning
gading dengan desain kayu yang bernuansa tradisional. Memang bagus dan tampak
seperti rumah orang berpunya. Tapi semua orang juga tau bahwa yang ada di
dalamnya adalah simbol dari kekejaman dunia dan ketidakadilan takdir, yang
mungkin juga pernah dirasakan Narita.
“PANTI
ASUHAN KASIH BUNDA”
Dari
tulisan di papan putih yang sudah usang itu pasti semua orang juga tau apa yang
ada di dalamnya. Anak-anak yang terpisah dari orang tua dan keluarganya dengan
berbagai macam alasan. Anak-anak yang masa kecilnya bisa dibilang suram. Dan
sekarang Narita berada di halaman rumah ini. Narita kesini untuk mencari sosok
yang kemudian ingin sekali ia angkat menjadi saudara.
Niat
Narita ini sudah mulai terpikir sejak setahun yang lalu. Kesepian benar-benar
membuatnya merasa tersiksa. Berhubung dia anak tunggal dari ortu angkatnya,
Narita pernah meminta ortunya untuk mencarikannya saudara angkat agar bisa
dijadikan teman. Mereka bilang iya tapi sampai sekarang tak juga ada tindakan
dari ortunya. Akhirnya 2 minggu yang lalu Narita memberanikan diri meminta ijin
pada mama papanya untuk mencari sendiri saudara angkat. Dan kedua orang tuanya
pun menyerahkan semuanya pada Narita. Mereka percaya bahwa Narita bisa
melakukan semuanya sendiri. Karena memang jalan pikirannya sudah seperti orang
dewasa.
>>>>>>>>>>>
Bu
Ning mengantarnya menyusuri lorong-lorong seperti yang pernah dilihatnya di
kastil yang ada di buku cerita. Tapi bedanya lorong-lorong ini terang benderang
dan dipenuhi tempelan-tempelan dinding yang kalau boleh ditebak pasti itu hasil
karya anak-anak panti ini.
Bu
Ning adalah pengelola panti yang diamanahi oleh pemiliknya yang sekarang
tinggal di Malaysia untuk mengurus panti ini. Seorang wanita dengan wajah
keibuan yang sudah mulai tampak kerut-kerut di wajah menandakan usianya sudah
tidak muda lagi. Dan yang membuat Narita heran, di panti ini tak ada pegawai,
hanya Bu Ning dan anaknya Yuli yang berusia sekitar 24 tahun yang merawat
hampir 17 anak di panti asuhan ini. Sungguh wanita-wanita yang tangguh.
“Silakan……”
Bu
Ning mempersilakan Narita untuk memasuki sebuah ruangan di depan mereka. Begitu
Narita mengarahkan matanya pada apa yang ada di dalamnya, ia merinding. Ia
melihat wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang mengatakan kerinduan kepada ayah dan
ibu mereka. Wajah-wajah yang seolah merupakan cermin dari dirinya sendiri
beberapa tahun yang lalu.
Di
dalam ruangan itu Narita melihat anak-anak sedang berkumpul dengan aktivitasnya
masing-masing. Membaca buku cerita, ada yang belajar, ada yang sedang bermain
dengan alat-alat musik yang sengaja disediakan oleh pemilik panti, ada yang
hanya berbincang-bincang seru bersama kawannya, dan ada pula yang hanya
konsentrasi menonton TV. Wajah mereka seperti tak ada beban. Sepertinya tidak
sesuram yang Narita bayangkan. Mereka tampak senang dan bahagia. Atau mereka
memendam perasaan mereka? Tapi, wajah mereka yang lugu sepertinya tidak
menyembunyikan sesuatu.
Narita
mendekat pada mereka. Ia ajak salah satu dari mereka yang wajahnya dirasa
paling lucu untuk sedikit ngobrol. Seorang gadis kecil dengan rambut kepang dua
dengan hidung kecil dan bibir yang mungil. Narita pikir dia akan menjadi gadis
yang cantik jika dewasa nanti. Namanya Fanny.
Narita
mendekati anak-anak panti itu satu persatu. Mencoba mengira-ngira seperti apa
mereka dari obrolan singkat dan pertanyaan-pertanyaan sama yang ia ajukan pada
mereka semua. Jawaban mereka sungguh tampak lugu. Coba bisa Narita bawa semua
anak-anak itu.
Mata
Narita mulai lirik kanan lirik kiri memilih-milih mana yang cocok untuk
dijadikan adik. Narita memandangi mereka satu persatu. Menimbang-nimbang,
mengira-ngira, bertanya pada hati…..sampai kemudian….
Mata
Narita tertuju pada sosok yang sejak tadi luput dari pandangannya. Seorang anak
berusia sekitar 13 tahun sedang duduk di balkon ruangan itu. Sepertinya dia
tidak terlihat karena tertutup oleh gorden.
Anak
itu duduk memandang langit di kejauhan. Tatapan matanya kosong. Sungguh seorang
anak yang tampan. Kulitnya yang agak hitam manis, hidung mancung, bibirnya yang
merah mungil dan perawakannya yang tegap proporsional membuat penampilannya
menarik walaupun dandanannya sederhana dan terkesan berantakan. Begitu
terpananya Narita melihat anak itu sampai-sampai tak sadar Bu Ning sudah sejak
tadi mengajukan pertanyaan yang sama padanya…
“Bagaimana,
Mbak?”
Narita
terkesiap melihat Bu Ning sudah berdiri sambil memandang heran.
“Eh….Ibu….Mmmmm…..itu
siapa ya?”
Narita
menunjuk pada sosok yang membuatnya terpana sejak tadi.
Bu
Ning melihat ke arah telunjuknya kemudian menghela napas sebelum akhirnya
tersenyum.
“Oh….itu
Dicky…..”
“Kenapa
dia tidak bermain bersama teman-temannya?”
“Dia
seperti itu sejak dia datang kesini 6 bulan yang lalu. Dia belum pernah
sekalipun bermain bersama anak-anak yang lain. Dan saya juga tidak pernah
berhasil membujuknya bahkan untuk sekedar membuatnya tersenyum. Dia tak pernah
mau bicara pada kami. Entahlah…..”
Tanpa
mendengar penjelasan selanjutnya dari Bu Ning, Narita langsung melangkah
menghampiri anak itu. Dicky….. Terlihat kesedihan yang begitu dalam di matanya.
Entah apa yang dia sembunyikan.
Narita
duduk di sampingnya lalu mengulurkan tangan dengan niat ingin mengajaknya
bersalaman.
“Hai…..”
Tapi
dia sama sekali tak merespon. Bahkan melirikpun tidak. Akhirnya Narita
memutuskan memperkenalkan dirinya sendiri
“Hai….namaku
Narita, kamu?”
Dia
tetap tak melirik sedikitpun. Tapi Narita merasakan ada sesuatu yang berbeda
dari Dicky. Dan sepertinya hatinya mengatakan inilah yang dia cari. Narita
bertekad akan meluluhkan hati Dicky dan membawanya pulang walaupun ia sudah
merasa bahwa itu bukan hal yang mudah.
Narita
tetap mencoba mengajaknya bicara. Menanyakan apa saja yang sekiranya bisa dia
tanyakan. Tapi Dicky tak menjawab satupun dari sekian banyak pertanyaan yang
diajukan Narita. Beralih taktik, Narita tidak lagi memberi pertanyaan pada
Dicky tapi Narita bercerita apa saja yang bisa dia ceritakan. Tentang langit
yang indah saat itu, tentang Jakarta yang panas, tentang teman-temannya dan
kesehariannya, bahkan tentang masa lalunya. Tapi sekali lagi Dicky tak
memberikan respon sedikitpun hingga Narita merasa seperti orang bodoh yang
berbicara sendiri. Bahkan saat Narita berjongkok tepat di hadapan Dicky pun ia
sama sekali tak melirik padanya. Fiuh…..
Bu
Ning memberikan isyarat agar Narita meninggalkan Dicky sendiri. Narita pun juga
merasa tenggorokannya sudah kering setelah berbicara panjang lebar pada Dicky
(walaupun tanpa respon sama sekali). Ia pun beranjak meninggalkan balkon dan
berjalan menuju Bu Ning.
“Kenapa
dia seperti itu, Bu?”
Narita
menanyakan tentang sikap Dicky yang amat sangat dingin saat berjalan menuju
ruang kerja Bu Ning.
“Mungkin
dia masih terbayang wajah keluarganya yang dulu, Mbak.”
“Oh
iya, Bu, kehidupan Dicky dulu seperti apa? Kenapa sepertinya dia memendam
perasaan yang sangat sedih. Tatapan matanya seperti……”
“Kosong.”
Belum
sempat Narita menyelesaikan Kalimatnya Bu Ning sudah melanjutkannya dan tepat
seperti apa yang akan dia katakan. Narita semakin penasaran dengan anak itu.
“Enam
bulan yang lalu dia saya temukan berjalan sendirian di daerah stasiun. Dia
tampak kebingungan. Sepertinya mencari-cari orang tuanya. Saya pikir dia anak
hilang. Saat saya tanya, dia bilang dia mencari ayahnya yang mengatakan akan
membelikan minum untuknya dan menyuruhnya menunggu di ruang tunggu. Tapi Dicky
mengatakan sudah hampir dua jam ayahnya tak kembali. Sepertinya ayahnya sengaja
meninggalkannya. Saya sudah mencoba mengumumkannya di speaker stasiun tapi tak
ada yang menjemputnya. Akhirnya saya bawa saja dia pulang. Saat itu tangannya
benar-benar dingin dan gemetar, Mbak, kasihan….”
Narita
mendengarkan dengan tak henti-hentinya merinding.
“Dia
pasti sangat ketakutan.” Narita mencoba membayangkan apa yang dialami Dicky.
“Dicky
bilang ibunya sudah meninggal saat dia masih bayi. Dia tidak pernah bertemu
ibunya. Dia hanya tinggal bersama ayahnya. Entah kenapa ayahnya tega
meninggalkan dia sendirian.”
Narita
benar-benar merasa terhanyut dengan kisah hidup Dicky. Dia bisa merasakan apa
yang dirasakan Dicky karena setidaknya dulu dia juga merasakan ditinggal
orang-orang yang disayanginya. Tapi bedanya kalau dia dipisahkan oleh maut yang
memang tak seorangpun bisa menolaknya. Tapi Dicky, dibuang oleh orang tuanya
sendiri. Betapa sakitnya hati Dicky mengalami semua itu.
“Sepertinya
saya ingin mengangkat dia jadi saudara saya, Bu.”
Bu
Ning seperti tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakan Narita.
“Tapi
Mbak Narita kan sudah melihat sendiri keadaan Dicky. Bahkan dia sama sekali
tidak menganggap Mbak Narita kan?”
“Saya
akan terus mencoba meluluhkan hatinya. Jadi, mungkin saya akan sering-sering
kesini nanti.”
Narita
tersenyum meyakinkan Bu Ning.
“Oh
iya tak apa-apa Mbak. Saya juga akan merasa senang jika akhirnya Mbak bisa
mengajak Dicky bicara. Terus terang saya sudah mencoba berbagai macam cara tapi
dia sama sekali tak bergeming.”
“Iya
Bu, saya akan berusaha. Mmmmm……kalau begitu saya pamit dulu. Saya akan datang
lagi lain waktu.”
“Oh
iya silakan Mbak. Silakan saja kalau mau datang lagi. Kalau misalnya nanti saya
sedang tidak ada di rumah, Mbak langsung masuk saja. Atau bisa minta diantar
sama Yuli. Anggap saja rumah sendiri Mbak.”
“Iya
Bu, terimakasih……mari Bu….”
“Iya,
Mbak, silakan.”
Narita
meninggalkan panti asuhan itu dengan hati yang teguh dan penuh semangat untuk
meluluhkan hati Dicky. Dia benar-benar telah ‘jatuh cinta’ pada anak itu.
>>>>>>>>>>>
Dua
hari kemudian Narita datang lagi ke panti asuhan itu. Kali ini dia membawa berbagai
macam makanan yang akan dia bagikan pada anak-anak panti.
Dia
membagikan coklat, permen, kue dan makanan kecil lainnya pada anak-anak.
Setelah itu dia menghampiri Dicky yang entah mengapa tetap berada di balkon dan
duduk di tempat yang sama seperti saat pertama kali ditemuinya dulu.
“Hai
Dicky….”
Narita
mencoba bersikap semenyenangkan mungkin pada Dicky. Tapi seperti biasa Dicky
tetap tidak begeming.”
“Mmmmm…..aku
punya coklat buat kamu.”
Narita
menyodorkan dua batang coklat pada Dicky. Jangankan menyentuhnya, mengalihkan
pandangan saja sama sekali tidak. Narita pun berpindah posisi tepat di hadapan
Dicky. Dia merayu dengan berbagai macam cara agar Dicky mau menerima
pemberiannya. Segala macam rayuan, bujukan, dan kata-kata manis meluncur deras dari
mulut Narita. Ekspresi ceria penuh harap pun tak mau ketinggalan dengan coklat
yang terus teracung di hadapan Dicky.
Narita
pikir Dicky akan melunak dan menerima coklat yang dia berikan, tapi ternyata
yang terjadi justru sebaliknya. Tanpa disangka Dicky bereaksi di luar dugaan.
Coklat yang sejak tadi teracung di hadapannya tiba-tiba dia tepis secara kasar
dengan kedua tangannya hingga terjatuh.
“PERGI!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Dicky
berteriak amat sangat kencang dan tampak sangat terganggu. Tatapan matanya
sekarang justru tampak sangat marah pada Narita yang sudah mengusik hari
tenangnya.
Narita
benar-benar tak menyangka Dicky akan bereaksi seperti itu. Dia terpaku menatap
Dicky tak percaya saking kagetnya.
“Pergi!!!!!!!”
Dicky
mengulangi bentakannya. Narita benar-benar tak menyangka. Dia pun meninggalkan
Dicky perlahan dan masih tak percaya bahwa anak yang semula diam tak begeming
bagai patung tiba-tiba membentaknya dengan amarah yang meluap. Narita pun
pulang dengan perasaan yang amat sangat penasaran. Tapi semua itu tak justru
membuat Narita menyerah tapi malah menambah tekadnya untuk bisa mengangkat
Dicky menjadi adik.
‘Anak
itu butuh kasih sayang. Dia tak boleh terus dibiarkan seperti ini atau dia akan
semakin kacau‘, pikir Narita.
>>>>>>>>>>>>>>
Sejak
saat itu Narita justru semakin sering mengunjungi Dicky. Dia terus mengeluarkan
segala apa yang dia bisa lakukan untuk menarik perhatian Dicky. Mulai dari
membawakannya makanan, mainan, buku cerita, menemani Dicky seharian dan
menceritakan apa saja yang dia alami seharian, mendongeng bahkan bernyanyi tak
jelas pun dilakukannya setiap kali dia datang menjenguk Dicky.
Berbagai
perlakuan yang tak menyenangkan dan reaksi yang tak mengenakkan dari Dicky pun
seringkali dialaminya. Mulai dari bentakan, teriakan, diacuhkan seharian,
ditinggalkan begitu saja, didorong dengan kasar sampai sekedar tatapan marah
pun pernah dialami Narita.
Hampir
dua bulan Narita terus berusaha mendekati Dicky tapi sepertinya hasilnya nol.
Benar-benar tak ada perubahan sedikitpun. Narita mulai merasa lelah dan putus
asa. Saran Bu Ning untuk memilih anak lain sepertinya harus mulai
dipertimbangkan walaupun sebenarnya hatinya masih sangat amat ingin Dicky lah
yang menjadi saudara angkatnya.
>>>>>>>>>>>>>>
Hari
ini ulang tahun Dicky, 18 Juni, Narita kembali menyempatkan diri untuk
mengunjungi Dicky walaupun dia baru bisa ke panti sekitar jam 5 sore karena
seharian tadi ia padat jadwal sekolah dan les. Tapi hari ini Narita mulai
berpikiran untuk melirik anak lain yang bisa dia angkat menjadi saudara. Berat
rasanya bagi Narita melepas Dicky. Tapi mau bagaimana lagi, kalau Dicky tak
juga mau merespon. Dia juga tak ingin membuang waktu untuk meraih apa yang tak
bisa dia raih. Yang penting kan sudah berusaha.
Narita
datang dengan membawa kue ulang tahun yang akan dia berikan untuk Dicky.
Seperti biasa dia menuju balkon ruang bermain dimana Dicky selalu menghabiskan
hari-harinya tanpa bosan(itu juga yang membuat Narita heran).
Narita
menuju balkon dengan semangat yang tinggal 1/4. Hhhhh….benar-benar sulit kalau
mengingat bahwa dia harus melepaskan Dicky.
Langkah
Narita terhenti sebelum sampai di balkon. Ada yang……
Dicky
tidak ada disana. Kemana dia? Tidak biasanya dia tak menduduki singasana
kebesarannya itu. Narita pun bertanya pada anak lain.
“Novi,
liat Dicky ngga?”
“Ngga,
Kak”, kata anak yang bernama Novi.
Narita
terus bertanya pada anak-anak yang lain tapi tak ada satupun yang tau. Narita
mulai merasa khawatir. Dia letakkan kue ulang tahun yang dibawanya di meja begitu
saja dan langsung menuju ruang kerja Bu Ning. Tapi Bu Ning pun tak ada di ruang
kerjanya. Narita mulai merasa panik. Dia menyusuri tempat-tempat yang dia tau
di rumah itu, berharap bisa menemukan Dicky.
Dicky
tak ada dimanapun. Narita tak bisa menemukannya. Sekarang dia benar-benar
merasa takut terjadi sesuatu pada Dicky mengingat kondisi psikologisnya yang
tak begitu baik.
Narita
terus mencari dan mencari. Langkah kakinya juga semakin cepat seperti hampir
berlari. Rumah itu sangat luas dan Narita hampir kelelahan berlari
kesana-kemari. Tapi Dicky tetap tak ada dimanapun sampai akhirnya dia bertemu
Yuli yang juga berjalan tergesa-gesa.
“Mbak
Yuli…”
Yuli
melihat Narita dan wajahnya tampak semakin panik saat melihat Narita.
“Ya
Ampun Mbak Narita….”
“Kenapa
Mbak?”
Narita
jadi semakin parno.
“Dicky,
mbak….”
Deg!!!!!!
Jantung Narita terasa terhenti dan dia mulai merasakan sekujur tubuhnya
merinding dan berkeringat dingin.
“Dicky
kenapa, mbak?”
Narita
bertanya dengan nada amat sangat panik. Pikiran buruk dan bayangan yang
tidak-tidak mulai melintas di benaknya. Tanpa berkata apapun Yuli langsung
menggandeng tangan Narita dan membawanya menuju halaman belakang.
To Be
Continued