Support Hendro With Your Writings

Hendro Utomo is an Indonesian writer with glaucoma, then lost his sight because of it. Living with blindness doesn't make him giving up writing. This blog created to publish any kind of writings from Hendro Utomo and friends who love and continue to support him by sending their writings or writing for him on this blog. You can also publish your writings here to support him. How? Send your email to hendroutomo1981@gmail.com and spread these words.


Sunday, September 30, 2012

THEY

THEY
Oleh Hendro Utomo


BENARKAH mereka ada? Dari manakah datangnya suara-suara itu? Langkah kaki itu selalu terdengar di dalam rumahku sendiri. Aku harus mengusir mereka pergi dari tempat ini segera!


Manchester, Desember 1975

Tak ada yang aneh terlihat dari rumah di atas bukit di Jalan Saint Marry itu. Bangunan tua yang terletak di sebelah utara kota kecil Manchester tersebut memang tampak sedikit tak terawat lagi. Sudah puluhan keluarga datang dan pergi silih berganti hanya dalam waktu kurang dari satu tahun.
Rumah itu dibangun sekitar abad ke-19 oleh Sir James Edward, seorang tuan tanah kaya-raya yang memiliki banyak tanah dan perkebunan. Rumah bergaya Victoria berlantai dua itu memiliki dua buah pilar besar di kedua sisi pintu masuknya dan sebuah pagar tinggi berinisialkan nama dirinya.
Sir James Edward mempunyai seorang istri dan tiga orang anak yang usianya masing-masing masih di bawah 10 tahun. Naas bagi mereka, belum genap lima tahun menikmati tinggal di rumah tersebut, sekawanan perampok mencuri serta membunuh semua anggota keluarga itu secara keji.
Setelah bertahun lamanya, rumah tersebut akhirnya dibeli dan ditempati oleh sebuah keluarga imigran kaya yang berasal dari Portugis. Namun, tak berapa lama kemudian terdengar kabar, keluarga itu pun memutuskan untuk pergi dari rumah itu dan menjualnya. Tak ada kabar pasti mengenai apa alasan mereka pindah. Begitu pun puluhan keluarga lain yang menempatinya, tak ada yang tinggal lama di sana. Kini Anda dapat melihat betapa kokohnya rumah itu berdiri dengan papan di depan pagar bertuliskan: “DIJUAL”.
***
David Miller dan istrinya, Margareth Miller, beserta kedua anak mereka, tampak bahagia menikmati suasana malam yang dingin di depan perapian di ruang keluarga rumah mereka. Elizabeth Miller dan Christoper Miller adalah nama anak-anak mereka.
David seorang pengusaha mebel yang bertubuh jangkung dengan rambut hitam sedikit ikal. Sementara, Margareth hanyalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang berwajah cantik, berpostur kurus, dan berambut pirang berombak. Elizabeth merupakan anak tertua, berusia sekitar tujuh tahun, dengan tubuh kurus sama seperti ibunya, dan memiliki raut wajah yang selalu tampak muram. Adiknya, Christoper, seorang anak laki-laki berumur lima tahun yang bertubuh gempal dan sangat aktif dan lincah.
Mereka adalah sebuah keluarga kecil yang sangat bahagia. Elizabeth dan Christoper pun bersekolah di sebuah sekolah dasar yang cukup terkenal tak jauh dari permukiman mereka. Kantor David berada di pusat Kota London yang harus ditempuh dengan perjalanan lebih dari satu jam.
Awalnya, David keberatan membeli rumah di Jalan Saint Marry tersebut karena ia merasa rumah itu sangat jauh dari pusat kota dan kantornya. Namun, sang istri bersikeras untuk tetap membeli dan menempati rumah itu. Selain harganya yang sangat murah, pemandangan alam sekitar rumah itu juga sangat mengagumkan, yaitu berhadapan dengan pantai pesisir sehingga menambah kesejukan serta estetika untuk sebuah rumah tinggal.
Selain pasangan suami-istri itu dan kedua anak mereka, rumah itu pun ditempati sepasang suami istri yang bekerja sebagai tukang kebun dan pembantu rumah tangga yang mengurusi segala keperluan keluarga Miller tersebut. Mereka adalah Joseph Cardigans dan istrinya yang bernama Sophie Cardigans. Usia mereka tidak lagi muda, sekitar 40 atau 50 tahunan. Tadinya mereka hanya penduduk yang tinggal di dekat permukiman itu. David sengaja membuatkan sebuah rumah mungil tepat di belakang rumah mereka sebagai rasa terima kasih David atas jasa dan pengabdian mereka terhadap ia dan keluarganya.
Keluarga Miller ini bisa dibilang hampir tidak pernah bersinggungan dengan penduduk lain di sekitar rumah mereka. Selain sifat keluarga ini memang amat tertutup, jarak rumah itu dengan rumah lainnya juga cukup jauh.
***
Suatu ketika, David terpaksa tinggal di pusat Kota London untuk waktu yang cukup lama karena ada beberapa toko mebel yang baru dibukanya di sana, yang tentunya harus mendapat pengawasan ekstraketat agar tidak merugi.
“Sayangku, aku tahu ini keputusan berat, tapi jangan khawatir, aku akan pulang setiap akhir pekan untuk menengokmu dan anak-anak. Oh ya, kalian pun bisa berkunjung kapan saja kalian mau,” ujar David kepada Margareth malam itu.
“Ya, tentu saja, Sayang, aku dan anak-anak akan senang sekali bisa berjalan-jalan ke pusat kota,” timpal Margareth sambil memasukkan beberapa potong baju ke dalam koper David.
Sayang sekali, David mengalami kerugian karena dua tokonya bangkrut sehingga ia belum bisa pulang untuk berkumpul lagi dengan keluarganya tercinta. Hubungan mereka berjalan biasa saja walau sudah hampir dua tahun hidup terpisah. Margareth pun enggan pindah untuk tinggal dengan David di kota. Padahal, sudah banyak orang yang bersedia mengontrak rumah mereka.
***
Kota London digemparkan dengan datangnya wabah penyakit menular yaitu TBC yang terjadi secara tiba-tiba. Wabah ini menyebabkan ratusan warga Inggris meninggal akibat gangguan saluran pernapasan akut.
Margareth termasuk seorang ibu yang amat cekatan dan telaten menjaga anak-anaknya. Wanita cantik ini terkenal sangat disiplin dan selalu menjaga kebersihan rumahnya. Pola asuhnya yang kaku dan sedikit diktator mungkin dikarenakan Margareth pada dasarnya selalu khawatir dan cemas dengan perkembangan anak-anaknya. Tak jarang seluruh tirai jendela ia tutup di siang hari agar anak-anaknya tidak menghirup udara kotor.
Yang agak aneh, ia rela mengeluarkan Elizabeth dan Christoper dari sekolah mereka karena takut mereka terjerumus ke dalam pergaulan yang salah. Ia lebih suka memanggil guru privat atau turun tangan mengajar anak-anaknya sendiri di rumah.
***
“Nyonya Margareth, makan malam sudah siap,” lapor Sophie kepada Margareth saat ia tengah asyik menulis surat kepada David, suaminya, di ruang perpustakaan.
“Baiklah, Sophie, tolong panggil anak-anak untuk segera turun dan makan malam,” ujar Margareth dengan anggun.
Di meja makan, Margareth berkata kepada putrinya, “Elizabeth, jangan lupa nanti sikat gigimu sebelum tidur. Dan kau, Christoper, jangan keluar rumah bermain ayunan karena cuaca sedang mendung!”
“Tapi, Bu, aku hanya ingin bermain ayunan sebentar di halaman,” rengek Christoper dengan nada merajuk.
“Jangan pernah bantah kata-kata ibumu, Nak!” bentak Margareth tanpa ekspresi kepada Christoper.
“Oh ya, Shopie, apakah kau pernah mendengar suara langkah kaki di sekitar rumah?” tanya Margareth penuh selidik. “Sudah dua minggu terakhir ini aku sering dikejutkan oleh suara-suara aneh, mulai dari dapur hingga ruang perpustakaan,” lanjutnya.
“Ti…, tidak pernah, Nyonya,” jawab Sophie terbata-bata, seperti tengah menyembunyikan sesuatu. “Semua pintu selalu saya kunci rapat. Jendela tak pernah saya buka, dan pagar selalu digembok seperti yang Nyonya perintahkan kepada kami….”
Saat itu, terdengar bunyi duk, duk, duk, seperti ada langkah anak-anak kecil berlari, namun suara itu menghilang di ujung lorong.
“Ibu, suara siapakah tadi?” tanya Elizabeth dengan sedikit bergidik.
“Ibu tidak tahu, tapi sudah beberapa hari ini Ibu juga mendengar seperti ada seseorang lain di rumah kita,” tukas Margareth.
“Oh, ya, tolong sampaikan kepada suamimu untuk memeriksa setiap sudut ruangan dan berjaga-jaga di dalam rumah karena aku tak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada anak-anakku,” perintah Margareth kepada Sophie yang diikuti anggukan kepala wanita pelayan itu.
Suasana makan malam menjadi lebih mencekam ketika terdengar suara nyanyian memilukan yang datang dari ruang perpustakaan yang tepat bersebelahan dengan ruang makan. Bulu kuduk mereka berdiri.
“Ayo cepat, habiskan makanan kalian dan langsung masuk ke dalam kamar,” bisik Margareth penuh kecemasan.
***
“Ibu…, aku kangen Ayah….” Christoper berkata keesokan harinya, saat ia dan kakaknya tengah belajar bersama ibu mereka.
“Ya, Sayang, sebentar lagi ayahmu pulang dan kita akan berkumpul bersama,” bisik Margareth sambil membelai rambut pirang Christoper.
“Ibu bohong! Ayah bahkan tidak pernah membalas semua surat yang Ibu kirim!” teriak Elizabeth.
“Siapa yang mengatakan itu kepadamu?” selidik Margareth dengan sedikit emosi, menanggapi sikap kritis putri sulungnya itu.
“Aku tidak pernah melihat tukang pos datang membawa surat untuk kita ke rumah ini lagi,” ujar Elizabeth.
“Mungkin ayahmu di sana sedang sibuk, Sayang. Ibu berjanji akan mengajak kalian berkunjung ke tempat Ayah suatu hari nanti,” janji Margareth kepada kedua anaknya.
***
Praaang…! Sebuah gelas kristal jatuh tersenggol Margareth saat ia tengah membersihkan debu di ruang keluarganya.
“Siapa kamu?” tanya Margareth kepada sesosok gadis kecil bergaun putih dengan sebuah boneka di tangan kirinya.
Gadis itu tengah berdiri di pintu masuk ruang keluarga dengan tatapan penuh tanya ke arah Margareth. Dihampirinya gadis kecil itu namun sosok itu tampak takut dan berlari, lalu menghilang di ujung lorong koridor rumah yang gelap.
Malam itu, lagi-lagi Margareth dikejutkan tiga sosok pria berjubah pastor yang berjalan mengelilingi rumahnya dan mereka menghilang masuk ke dalam kamar Christoper. Di sana Christoper tampak ketakutan dengan penampakan tiga sosok pria berjubah pastor itu. Ia bersembunyi di bawah tempat tidurnya sambil menahan napas.
“Ayo, Anakku, jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian asal kalian mau pergi dari rumah ini,” ujar salah satu pria yang berwajah pucat itu.
Pintu kamar terbuka tanpa ada seseorang yang membukanya. Christoper keluar dari persembunyiannya dan langsung berlari menemui ibunya.
Begitulah, peristiwa demi peristiwa aneh kerap dialami Margareth serta kedua anaknya.
***
Pagi itu, Margareth berniat memetik jagung di ladang jagung milik keluarganya, yang terletak tepat di belakang rumahnya. Ladang jagung itu amat subur karena dirawat dengan baik oleh Joseph. Di pinggir ladang, berdiri sebuah rumah mungil tempat Joseph dan Sophie tinggal. Dengan menenteng keranjang rotan Margareth berjalan menuju ladang dan melewati gubuk Joseph yang pintunya terbuka. Maksud hati ia ingin memberi tahu Joseph bahwa atap rumahnya bocor dan perlu segera diperbaiki.
“Joseph, di mana kau? Halo, adakah orang di dalam?” tanya Margareth.
Begitu masuk ke gubuk itu, ia terkejut melihat seluruh perabotan rumah tertutup kain putih, seakan tempat itu sudah lama tak berpenghuni. Padahal, hampir setiap hari pasangan Cardigans tersebut bekerja di rumahnya. Ia berjalan ke sebuah lemari dan menemukan sekotak besar perhiasan milik Sophie. Ia membuka kotak itu perlahan untuk melihat isinya, dan ia langsung kaget melihat beberapa lembar foto hitam-putih dan sehelai surat dengan tulisan tangan David, suaminya, yang sengaja dialamatkan untuk Joseph.

Mild Street Seventh Avenue, 20 Juli 1976

Joseph Cardigans yang terhormat,

Apa kabarmu dan istrimu Sophie di sana? Aku dan keluarga baruku di sini baik-baik saja. Oh, ya, bagaimana, apakah sudah ada kabar lagi tentang orang yang berniat membeli atau menyewa rumahku? Sejak lama aku berniat menjual rumahku itu karena banyak kenangan yang tak bisa kulupakan di rumah itu. Aku berikan alamat rumahku dan tolong kabari aku jika sudah ada pembeli yang berminat. Terima kasih.

David Miller

Margareth kaget setengah mati membaca surat suaminya itu. Pikirannya kalut dengan sejuta tanya di benaknya. Ada apa di balik semua ini? Dengan kemarahan yang setengah mati ditahannya, ia pun membongkar kotak perhiasan itu dengan kasar. Diperhatikannya lembar-lembar foto hitam-putih itu. Apa yang dilihatnya dalam foto-foto itu benar-benar membuatnya shock. Tampak beberapa gambar kedua buah hatinya yang tengah terbaring kaku di atas tempat tidur, mengenakan pakaian yang sangat bagus. Christoper mengenakan setelan jas hitam, sementara Elizabeth memakai gaun putih berenda dengan wajah pucat tertutup riasan wajah dan rambut tersisir rapi. Keduanya seperti tengah tertidur pulas, namun kulit mereka amat pucat dengan rona bibir kebiruan.
Di salah satu foto, tampak seorang wanita yang sangat pucat, juga terbaring dengan pakaian indah, di dalam sebuah peti. Wajah wanita itu sangat mirip dirinya!
Secepat kilat Margareth berlari mencari Joseph di belakang rumah lelaki tua itu untuk meminta penjelasan. Namun, bukan Joseph yang ia temukan, melainkan setumpuk semak belukar yang tampaknya sengaja diletakkan untuk menutupi sesuatu. Margareth mulai menerobos ke dalam semak untuk mencari tahu benda besar apa yang ada di belakang semak itu.
Oh, Tuhan…! bisik Margareth tertahan, ketika dilihatnya ada tiga buah kubur dengan batu nisannya yang sudah hampir roboh, dengan tulisan yang tidak jelas terbaca. Samar-samar ia melihat tulisan Miller di salah satu batu nisan tersebut.
“Ibu…! Tolong…!”
Saat itu juga terdengar olehnya suara Elizabeth meminta tolong dari dalam rumah. Margareth segera berlari ke arah rumah dan mampir di gubuk kecil Joseph untuk mengambil senapan angin yang biasa dibawa Joseph saat berjaga malam.
Suasana rumah tampak terang-benderang dengan seluruh pintu terbuka dan tirai jendela yang juga tersingkap sehingga sinar matahari memenuhi seluruh rumah yang biasanya gelap karena selalu tertutup itu. Margareth menemukan kedua anaknya tengah bersembunyi di dalam kamar mereka sambil menangis.
“Ibu, aku melihat hantu di ruang perpustakaan. Mereka jumlahnya sangat banyak dan ada sesosok hantu berjubah aneh mengusir kami dari rumah kita ini,” ujar Christoper sambil tak berhenti menangis.
“Kalian tetap di sini. Ibu akan melihat ke ruang perpustakaan dan mengusir mereka semua!” Margareth menenangkan kedua anaknya.
Prak, prok, prak, prok. Margareth melangkah setengah berlari dengan degup jantung berdebar, menuju ruang perpustakaan. Kedua tangannya memegang erat senapan angin yang diambilnya dari gubuk Joseph. Didobraknya pintu kayu perpustakaan dengan kencang. Matanya melotot marah melihat sekumpulan orang tengah duduk di sebuah meja bundar. Ada dua wanita dan tiga pria duduk melingkar dengan salah satu pria berkomat-kamit sambil membagikan kartu tarot.
Kontan saja Margareth berteriak histeris, “Apa yang kalian perbuat di rumahku?! Pergi segera dari sini!!!”
Amarah Margareth sudah tak tak terbendung lagi. Ia mengambil tumpukan kartu tarot yang ada di atas meja dan menghamburkannya ke udara. Cermin besar di sisi ruangan memantulkan bayangan lima orang tadi beserta kartu tarot yang beterbangan di udara. Namun, tak tampak pantulan bayangan Margareth di sana.
“Hantu itu tengah marah. Lebih baik kita sudahi dulu ritual pengusiran hantu ini besok pagi. Mungkin aku akan melakukan ritual komunikasi dengan mereka agar mereka pergi dari rumah yang akan kalian beli ini,” ujar seorang pria berjubah hitam kepada empat orang lainnya di ruangan itu.
***
Aku Margareth Miller. Aku dan kedua anakku adalah penunggu rumah ini. Wabah penyakit TBC menyerang kami dan merenggut nyawaku serta kedua anakku puluhan tahun lalu. Setelah kami meninggal, suamiku, David, menikah lagi dan hidup bahagia di kota lain bersama keluarga barunya hingga saat ini. Jasad kami mungkin telah mati, tetapi jiwa kami yang melingkupi rumah ini tidak akan mati.
Aku melihat seorang gadis kecil menaiki sebuah mobil van besar bersama kedua orangtuanya yang tampak ketakutan. Mobil yang penuh berisi perabot rumah itu meninggalkan rumah kami dengan tergesa-gesa.
Aku dan kedua anakku tersenyum bahagia dari balik jendela rumah. Sementara, papan bertuliskan kata: “DIJUAL” tetap berdiri kokoh di depan pintu pagar.
“Ayo, siapa yang berani membeli rumah ini?” bisikku.

SEKIAN


Tentang Penulis:
Hendro Utomo, seorang penulis tunanetra kelahiran Jakarta, 8 Juli 1981. Mulai menyukai dunia sastra sejak pertama kali bekerja sebagai editor di sebuah media cetak. Gaya bahasa yang lugas dan deskriptif adalah ciri khas tulisan pria yang menyukai genre thriller dan metropop ini. Tunggu karya lainnya dari Hendro Utomo.

http://hendro81.mywapblog.com/they-by-hendro-utomo.xhtml

Support Hendro

Hendro Utomo adalah seorang penulis yang terserang Glukoma, yang kemudian kehilangan penglihatannya. Meskipun kini berstatus tunanetra, Hendro Utomo pantang menyerah dalam menghadapi keadaan dan tetap berkarya. http://hendroutomo81.blogspot.com/ "dilahirkan" untuk mempublikasikan karya Hendro Utomo, beserta para sahabat yang menyayanginya. Kamu juga bisa turut memberikan dukungan kepada Hendro Utomo dengan menyumbangkan tulisanmu, untuk ditampilkan di http://hendroutomo81.blogspot.com/. Untuk itu, kirimkan emailmu ke: hendroutomo1981@gmail.com, untuk mendapatkan undangan menulis di blognya.

[Hendro Utomo is an Indonesian writer with glaucoma, then lost his sight because of it. Living with blindness doesn't make him giving up writing. http://hendroutomo81.blogspot.com/ created to publish any kind of writings from Hendro Utomo and friends who love and continue to support him by sending their writings or writing for him on his blog. You can also publish your writings there to support him. How? Send your email to hendroutomo1981@gmail.com to be invited to write for his blog].

Saturday, September 29, 2012

Michael's Diary, kisah cinta tragis malaikat dan seorang gadis tuna netra

Michael's Diary
Oleh Hendro Utomo

Prolog: Kisah tragis percintaan antara malaikat bernama michael dan seorang gadis tuna netra. Cinta terlarang yang ditentang oleh tuhan. Mampukah michael meraih cinta sejatinya dan apakah ia akan berhenti begitu saja meski banyak cobaan menerpa kisah cinta mereka?




4 Januari 1981
FIUUUHHH....
Kutiupkan napas hangatku pada sebuah jendela berembun di sudut ruangan sebuah apartemen kecil di pinggiran Kota Brooklyn yang jaraknya berjuta-juta mil jauhnya dari tempat tinggalku di surga. Semua yang kukenal memanggilku Michael. Aku adalah seorang malaikat penjaga. Aku sendiri sudah lupa berapa usiaku kini.
Aku tak dapat melihat pantulan bayanganku di depan sebuah cermin atau permukaan air, namun aku bisa menebak bahwa aku adalah seorang pria berusia 28 tahun dengan rambut ikal berwarna hitam dan berkulit putih.
*
Kriiinggg...!
Aku masih ingat betul suara bel sepedaku di pagi hari yang cerah itu saat kukayuh kendaraan beroda dua itu melintasi jalan di sebuah kota kecil di New Jersey. Aku yang saat itu berusia 15 tahun amat mencintai pekerjaanku sebagai pengantar susu keliling. Ayahku hanyalah seorang petani jagung di kota kecil kami, sementara ibuku bekerja sebagai buruh pabrik paruh waktu di pengepakan makanan siap saji dengan penghasilan yang sangat kecil. Aku memutuskan berhenti sekolah sementara sampai ayah sudah memiliki tabungan cukup untuk menyekolahkanku karena ladang kami baru saja habis oleh serangan tikus.
“Michael, tangkap ini!” seru Pak Jackson, pemilik toko buah di ujung gang Hallway 5th Street yang biasa melemparkan sebuah apel segar di pagi hari untuk sarapanku selagi aku bekerja.
Tiba-tiba, terdengar suara menderu seperti klakson mobil truk pengangkut sampah yang melintas dengan sangat cepat di sisi kananku.
Braaakkk! Bagian depan truk itu menghantam tubuh dan sepedaku hanya dalam hitungan detik. Suasana mendadak hening.
*
Tiba-tiba, aku sudah berada di sebuah kamar dan duduk di pojok ruangan melihat ayah, ibu, dan adikku sedang meratapi sesosok anak laki-laki yang terbaring di atas tempat tidur itu.
Sebuah suara lembut memecah kesedihan. “Ayah sangat mencintaimu, Michael,” bisik Ayah di telinga anak itu sambil terisak diiringi tangisan pilu ibu dan Megan, adik semata wayangku.
Langkah berat memasuki ruangan dan tampak seorang pria tua berjubah putih lengkap dengan stetoskop melingkar di lehernya berkata, “Tuan Gregs, maaf, kami sudah mencoba sekuat tenaga, namun semuanya di luar kemampuan kami. Hantaman keras di sisi kanan kepalanya membuat terjadinya pendarahan hebat. Kami turut berduka cita,” ujar pria tua itu kepada Ayah.
Seketika kulihat cahaya vertikal di depanku dengan suara parau setengah berbisik ke arahku, “Michael, ini saatnya untuk pergi. Ayo, jangan buang waktumu. Ada pekerjaan lain yang harus kaulakukan,” lanjut suara parau tadi. Aku mundur dengan bahasa tubuh berupa penolakan namun cahaya itu semakin kuat melawan gravitasiku.

6 Januari 1981
Lamunanku buyar saat seorang gadis cilik memasuki kamar tidur di apartemen ini. '”Michael, apakah engkau ada di sini?” tanya Mia Davis kepadaku.
“Ya, aku di atas tempat tidurmu,” jawabku dengan tenang. “Aku ingin memperkenalkanmu kepada guru biolaku yang baru. Dia sangat cantik dan sangat baik kepadaku,” ujar Mia kepadaku di sore hari yang dingin itu.
“Hahaha…, bagaimana mungkin? Dia kan tidak dapat melihatku,” timpalku sambil tertawa geli.
“Dia memang tidak bisa melihat karena dia buta. Namanya Jennifer Russell, tapi aku biasanya memanggilnya Jenn. Usianya masih 22 tahun dan dia tinggal bersama neneknya di ujung jalan rumahku. Jenn sangat pandai bermain biola. Ditambah lagi suaranya yang merdu, pasti kamu akan menyukainya,” ujar Mia, dan aku hanya tersenyum simpul melihat mimik wajah gadis kecil berusia enam tahun itu.
Tak mudah menjadi seorang malaikat penjaga bagi para manusia. Tuhan menugasiku untuk menjadi teman bagi mereka para anak kecil. Biasanya tugas kami berakhir ketika sang anak menginjak usia remaja.
Aku sudah menemani Mia semenjak ia lahir. Mia adalah anak yang cerdas dan ia tinggal bersama ibunya di tempat ini. Ayah Mia adalah seorang pemabuk dan kerap memukuli Mia dan ibunya. Sampai akhirnya sang ayah ditangkap oleh pihak yang berwajib akibat kasus pemukulan terhadap anak dan istrinya itu. Tapi aku percaya, mereka berdua sudah jauh merasa lebih bahagia sekarang.
Tatapanku seakan tak bisa lepas saat kulihat gadis tinggi semampai itu masuk ke tempat ini. Tongkatnya diketuk setiap kali ia melangkah. Raut wajahnya amat berbinar seperti matahari terbit di Pantai Santa Monica. Rambutnya yang cokelat lurus sebahu tampak berkilau di bawah temaram lampu. Meski matanya tak dapat melihat, bentuknya sangat sempurna seperti almon dengan bulu mata lentik yang terkibas setiap kali ia mengedipkan matanya. Sekarang aku baru percaya apa yang dikatakan Mia kepadaku beberapa saat lalu, karena memang aku baru saja melihat seorang bidadari yang sesungguhnya. Aku tak pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta atau mengagumi sesuatu hal yang biasa dialami oleh para manusia. Mungkin inilah rasanya bagaimana reaksi kimiawi berlangsung ketika engkau menyukai pasanganmu.
“Baiklah, Mia, aku akan mainkan sedikit lagu dengan biola ini dan rasakan setiap nadanya merasuki jiwamu,” bisik Jenn kepada Mia sebelum ia mulai memainkan biolanya.
Oh, Tuhan, suara permainan biola itu sangat indah dan mungkin alunannya bisa memanggil seluruh malaikat di surga. Kunikmati setiap gesekan biola dari tangan halus Jenn, seakan aku tak mau ia pergi dari sisiku. Aku duduk di samping Mia dan tentu saja tidak ada yang melihat sosokku di sini kecuali Mia sendiri. Tak sadar tingkahku menjadi aneh dan salah tingkah ketika mataku beradu pandang dengan mata Jenn. Bodohnya aku karena toh Jenn tidak bisa melihatku, mengapa aku harus menjadi orang lain pada saat itu.

12 Februari 1981
Itulah pertemuan pertamaku dengan Jenn. Sejak itu aku selalu berada di mana pun Jenn berada. Sampai-sampai aku melalaikan tugasku sebagai malaikat penjaga. Kulihat siang itu matahari tampak terik di sudut jalan kota kecil di selatan Brooklyn ini. Jenn terlihat berjalan menyusuri trotoar menuju tempatnya biasa mengajar vokal.
“Selamat siang, Martha,” sapa Jenn kepada petugas penyapu jalan bernama Martha.
“Siang juga. Coba lihat, dirimu tampak cantik sekali hari ini, Jenn,” ujar wanita berkulit hitam itu diiringi ucapan terima kasih dengan senyuman tulus Jenn saat itu.
Gadis itu sungguh hebat, meski tidak melihat, ia bisa mengetahui apa yang ada di sekitarnya dengan baik karena intuisinya amat tajam. Jenn pun dikenal sebagai gadis cantik yang ramah di lingkungan tempatnya tinggal. Gadis ini amat mandiri. Jenn terkena glukoma semenjak ia berusia 2 tahun. Ayah dan ibunya sudah bercerai saat ia masih dalam kandungan sang ibu. Akibat pendarahan yang hebat, ibunda Jenn meninggal dunia ketika ia dilahirkan. Neneknyalah yang sampai kini merawat Jenn dengan penuh kasih sayang.
*
Kreeek.... Terdengar pintu terbuka.
“Jenn sayang, kau sudah pulang rupanya. Bagaimana pekerjaanmu hari ini?” tanya sang nenek sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir ketika Jenn baru pulang.
“Aku senang karena aku akan dipromosikan oleh kepala sekolah untuk menjadi guru kesenian yang baru,” ujar Jenn sambil tersenyum riang, yang disambut pelukan hangat sang nenek. Mereka berdua tinggal di sebuah apartemen kecil yang mungkin harga sewanya tak lebih dari 100 dolar per bulannya.

18 April 1981
Hari ini adalah hari besarku. Aku berniat menemui Tuhan karena ada sesuatu hal yang harus aku bicarakan. Aku ingin meminta sesuatu kepada Tuhan agar satu-satunya keinginanku dikabulkan.
Braaak...! Aku membuka pintu besar yang terbuat dari emas itu menuju ke sebuah ruangan terang besar nan megah. Istana ini adalah kediaman Tuhan.
Perlahan kubuka suaraku. “Selamat pagi, Tuhanku,” ujarku dengan pasti.
“Ya, ada apa, Michael?” tanya Tuhan kepadaku. “Aku sudah tahu maksud kedatanganmu ke sini, Michael,” sambungnya.
“Aku ingin menjadi seorang manusia agar aku bisa bersama gadis pujaanku,” pintaku kepada Tuhan. “Baiklah, aku akan mengabulkan permintaanmu, tapi ada satu hal yang harus kautaati, Michael,” ucap Tuhan. “Kau tidak akan pernah bisa lagi menjadi malaikat jika kau sudah menjadi seorang manusia. Ingatlah, kau juga tidak bisa melawan takdirku,” ujar Tuhan kepadaku.
“Ya, aku akan melakukan apa saja asal aku bisa mencintainya walau aku harus merasakan sakitnya berdarah sama seperti manusia lainnya,” ucapku dengan lantang tanpa bisa menyembunyikan kebahagiaanku.
*
Kepalaku terasa berat saat aku membuka mata. Terhenyak saat menemukan diriku di atas sebuah tempat tidur berantakan di dalam sebuah mobil karavan yang terlihat sudah rusak dan tua. Aku bangkit menuju ke sebuah cermin di kamar mandi sempit dan bau di sudut ruangan. Tampaklah seorang pria tampan berambut hitam ikal dengan bola mata kecokelatan dan kulit putih pucat seperti bayi. Ya, inilah diriku, dan sambil berteriak kegirangan aku menari seperti anak kecil sepanjang pagi yang cerah itu.
“Wuhuuu…!” teriakku hingga membuat para burung yang hinggap di atas karavan ini kabur beterbangan.

20 April 1981
Sepanjang jalan aku terus bernyanyi. Langkahku pasti menusuri jalan setapak Lincoln 27th Avenue. Jalan ini satu-satunya jalan menuju tempat Jenn bekerja di sebuah sekolah musik di kota kecil di selatan Brooklyn ini. Dari seberang jalan kulihat Jenn sedang memasuki sebuah kafetaria untuk santap siang. Aku berpikir keras bagaimana caranya memulai sebuah percakapan, apalagi dengan seseorang yang aku puja.
Jenn membawa baki ke sebuah meja di sudut kafetaria. Aku yang berjalan di belakangnya, mulai berkata sesuatu saat gadis cantik itu mengempaskan dirinya ke sebuah kursi. “Maaf, bolehkah saya duduk di sini? Saya tak menyangka begitu banyak orang yang kelaparan siang hari ini,” ujarku sambil setengah becanda.
“Oh, boleh, silakan, dan tampaknya saya memang duduk sendiri,” jawab Jenn kepadaku.
Ya, itulah perkenalan kami yang pertama dan tak akan kulupakan hari itu. Sejak saat itu mulailah kami sering bertemu dan bahkan Jenn memperkenalkanku kepada Jemima Russell, sang nenek tercinta.
*
“Silakan duduk, Michael. Saya memang sedang membutuhkan seorang petugas penjaga Brooklyn City Zoo ini. Asisten saya akan memberikan seragam, tanda pengenal, dan semua yang kamu butuhkan. Selamat, dan kamu bisa mulai bekerja esok hari,” ujar Mr. Robb Keith, kepala pengawas kebun binatang satu-sattunya di Kota Brooklyn ini. Aku memang bertekad akan bekerja keras untuk membahagiakan Jenn. Aku jalani setiap hariku dengan penuh semangat. Hampir semua pengunjung, anak-anak dan rekan kerja menyukaiku karena aku dikenal ramah, hangat, serta memiliki selera humor yang cukup menghibur mereka.
Tak terasa dua bulan sudah aku bekerja dan tibalah waktuku menerima upah kerjaku di bulan ini. Dengan rasa haru aku masuki sebuah toko perhiasan untuk membeli sebuah cincin untuk Jenn. Tak lupa aku mampir di sebuah toko bunga di ujung jalan seberang apartemen Jenn. Malam itu sungguh istimewa karena malam itulah aku melamar kekasih hatiku.
Kami tiba di sebuah taman kota setelah makan malam. Di bawah hujan rintik kecil itu kulamar Jenn. “Jenn, tak ada yang bisa membuatku bahagia selain dirimu. Maukah engkau menikah denganku?” pintaku kepada Jenn.
Masih kuingat air mata bahagia itu mengalir di pipi Jenn kala itu dan diikuti oleh anggukan kepalanya tanda setuju.

2 Juni 1982
Dan, di sinilah kami sedang merayakan bulan madu kami. Bukan, bukan di atas gondola menyusuri Sungai Venice di Italia atau di depan Taj Mahal India. Kami hanya saling berpelukan di atas sofa di ruang keluarga kami yang kecil ini. Aku sangat mencintai Jenn dengan segenap hatiku dan tampaknya seluruh dunia tahu akan hal itu.
“Michael, aku sangat bahagia karena Tuhan mempertemukan kita,” bisik Jenn, diikuti kecupan mesranya yang mendarat di keningku malam itu, setahun setelah pernikahan kami.
Jenn tengah mengandung bayi kami. Walau usia kandungannya baru menginjak 2 minggu namun aku sudah tak sabar lagi menantikan seorang anak di istana kecil kami. Yang paling membuatku bangga adalah aku menikahi seorang perempuan yang sangat mandiri. Jenn selalu keberatan jika aku ingin mengantar atau menjemputnya di tempat kerjanya. Ia bersikeras dan lebih memilih berangkat kerja dengan bus setiap harinya.
Pagi itu, udara terasa lebih dingin daripada biasanya. Langit tampak mendung dan Jenn bersiap-siap ke sekolah untuk mengajar. Dengan tongkat yang menjadi penuntunnya, Jenn setengah berlari menuju pemberhentian bus tak jauh dari taman kota dekat tempat tinggal kami. Belum lama menunggu akhirnya bus yang menuju pusat kota itu pun datang. Pintu bus terbuka otomatis dan Jenn menapaki anak tangga menuju bangku penumpang.
Tiba-tiba sang sopir bus itu berkata kepada Jenn, “Wah, Anda adalah seorang wanita paling beruntung yang pernah saya kenal, Nona,” ucap lantang sang sopir.
“Kenapa Anda bisa bilang begitu, Pak?'” tanya Jenn kepada sopir berkepala botak itu. “Saya selalu melihat seorang pria tampan dan gagah berambut hitam pekat dengan senyumnya yang khas berjalan di belakang Anda seakan menjaga dan mengawasi Anda. Setiap pagi saya melihat pria tersebut di belakang Anda, dan tak lupa ia mengembuskan ciuman lewat telapak tangannya untuk Anda ketika Anda menaiki bus ini. Oh ya, tentu saja di waktu sore hari Anda pulang pun saya selalu melihat pria itu menunggu Anda turun dari bus ini, hampir setiap hari,” sambung sang sopir.
Seketika air mata hangat turun perlahan dari mata Jenn dan ia menyadari bahwa aku benar-benar adalah malaikat penjaga untuknya.
Malam itu kami habiskan dengan memasak makan malam kami bersama. Terdengar suara derungan mesin mobil dan suara tawa anak-anak remaja yang mengendarai mobil ayah mereka sambil kebut-kebutan. Suasana itu kerap terdengar di lingkungan rumah kami dan tak jarang sering membuat kegaduhan.
Setelah bersantap, Jenn pamit ke luar rumah untuk membuang sampah sambil aku mencuci piring dengan iringan musik The Beatles.
Tak lama berselang, aku mendengar suara letusan senjata api di pekarangan rumah.
Dor, dor...!
Suara itu kembali terdengar. Aku sangat panik dan segera berlari melihat apa yang terjadi. Tubuhku lemas melihat Jenn tersungkur di tanah bersimbah darah tepat di sisi lambungnya. Aku berlari mendekatinya sambil berteriak memanggil namanya, berusaha memberikan pertolongan.
Tak kusadari aku berteriak keras, “Jenn! Semua, tolong aku!”
Kulihat Pak Dave Gynes, tetanggaku, keluar rumah bersama istrinya untuk membantuku mengantarkan kami ke rumah sakit.
*
Di sinilah aku duduk, di ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat Brooklyn Memorial Hospital. Seorang wanita berbaju seragam operasi dengan tutup kepala dan penutup mulut mendatangiku. “Permisi, Andakah Tuan Michael?” tanyanya kepadaku.
Aku hanya dapat mengangguk.
“Kami turut berduka cita. Istri dan bayi kalian tak bisa kami selamatkan…,” ujar sang dokter kepadaku dengan terbata.
Aku berlari ke dalam kamar operasi dengan tangisan yang sangat memilukan. Kupeluk Jenn-ku untuk terakhir kalinya sambil kubisikkan kata-kata cinta di telinganya.
Dari penyelidikan polisi kemudian, aku tahu bahwa penembakan itu dilakukan oleh para remaja pengendara mobil yang sebelumnya membeli senjata api secara ilegal. Walau mereka sudah berhasil ditangkap, tetap saja mereka tidak bisa mengembalikan Jenn kepadaku.
Di kamar, setelah upacara pemakaman, aku menangis terisak melihat kumpulan foto kami yang tak pernah dilihat oleh Jenn. Kuhabiskan malam dengan minuman keras, berusaha menghapus kesedihan, meskipun sesungguhnya aku sangat membenci alkohol.

8 Oktober 1982
Kini kuhabiskan hariku sebagai seorang manusia dan seorang pria kesepian. Sudah lama aku tutup hatiku untuk wanita lain. Aku belajar bermain biola dan bekerja sebagai pemain biola keliling di stasiun kereta bawah tanah bernama Boston Subway District, pergi jauh dari semua kenangan hidupku. Aku terpaksa menjual rumah dan pindah ke kota lain, hidup di sebuah flat sewaan yang murah dan kecil di pinggiran Kota Boston. Aku pernah mencoba bunuh diri tetapi aku teringat pesan Tuhan, bahwa jika aku mengakhiri hidup di luar takdir-Nya, aku tak akan bisa bertemu Jenn lagi di surga untuk selamanya.
Maka, di sinilah aku menghabiskan sisa usiaku, entah sampai kapan. Aku belajar bahwa terkadang kita harus berdarah sebelum merasakan bahagia. Jika engkau mendengar suara lirih alunan biola di malam hari, mungkin itu adalah suara biolaku yang mengisyaratkan kepedihan hatiku yang mendalam.

***
Tentang Penulis:
Hendro Utomo, penulis berusia 32 tahun ini, memiliki gaya tulisan yang lugas dan deskriptif. Meski tunanetra, penulis sangatlah menyukai dunia menulis dan literatur. Ayo berteman dengan penulis yang pernah bekerja sebagai managing editor dan wartawan ini di Facebook, dengan nama: hendro.utomo1.
Penulis juga kerap menggunakan nama edo1981 sebagai nama pena untuk setiap naskah literaturnya. Saat ini penulis berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kontak Hendro segera di 0818-0662-6538 atau email: hendroutomox81@gmail.com.

http://hendro81.mywapblog.com/michaels-diary-kisah-cinta-tragis-malaik.xhtml

Friday, September 28, 2012

BETH AND ROSE by Hendro Utomo

Beth and Rose
Hendro Utomo


GADIS cantik itu dituduh sebagai pelaku pembunuhan sadis dan diduga memiliki kepribadian ganda. Apakah memang ia pembunuhnya atau si arwah penasaran itu pelakunya? Kisah pembunuhan berantai yang tragis di sebuah kota kecil.

"Diam kau, wanita jalang!" hardikan itu terdengar dari ruang keluarga rumah kami.
"Berhentilah meminum minuman sialan itu, James, dan carilah pekerjaan di luar sana!" bentak ibuku kepada James Nowid, ayah tiriku.
Ya, begitulah cara kedua orangtuaku berkomunikasi. Tak jarang ayah tiriku melayangkan pukulan kepada ibu saat keduanya bertengkar hebat. Ibu menikah lagi setelah ayah kandungku meninggal dunia karena tidak mampu menghidupi dirinya dan dua putri kembarnya, aku dan Rose.
Awalnya, ayah tiriku memiliki pekerjaan sebagai penggali tambang emas di kota kami, New South Florida, namun ketika tambang emas tersebut ditutup sekitar setahun lalu, James terpaksa diberhentikan dari pekerjaannya dan menjadi seorang pecandu alkohol yang kerap melakukan penganiayaan terhadap ibu dan kami.
Ibu sudah berkali-kali meninta bercerai, akan tetapi James mengancam akan membunuh ibu. Sementara ibuku hanyalah seorang pelayan di sebuah restoran kecil bernama Peters Steak and Grills dengan upah yang hanya cukup untuk biaya makan dan sekolahku saja. Namaku Bethanie Fox, namun aku kerap dipanggil Beth. Sebagai gadis berusia 16 tahun, aku memiliki wajah yang lumayan manis dan ditambah postur tubuh tinggi dengan rambut pirang sebahu. Begitupun dengan Rosemary Fox, adik kembarku, yang biasa disapa Rose oleh semua orang.
Kalian pasti berpikir di mana Rose berada sekarang. Kami sangat dekat satu sama lain. Seakan Rose tahu apa yang sedang aku pikirkan dan begitupun sebaliknya. Rose memutuskan untuk pergi dari rumah ini atau lebih tepatnya kabur karena ia tidak tahan dengan perlakuan kasar yang kerap dilakukan James kepadanya. Ditambah lagi dengan perekonomian keluarga kami yang sangat sulit. Aku masih ingat hari itu tanggal 21 Juli 1995, tepat di hari ulang tahun kami. Udara di luar sangat dingin walaupun sekarang masih musim panas. Langit di luar kamarku tampak mendung dan kami berdua sedang asyik mengobrol sambil menunggu ibu pulang bekerja.
"Selamat ulang tahuuuuun!" seru ibu tiba-tiba yang masuk ke kamar kami dengan satu buah potong kue coklat dan dua buah lilin diatasnya.
"Ibuuuu!" balas aku dan Rose berhamburan menuju ke arah ibu dan memeluknya. Masih kuingat wajah ibu tampak bahagia ketika tahu kedua putri mereka telah beranjak dewasa. Ibu juga memberikan kami sepasang kalung berliontin hati sebagai hadiah ulang tahun kami. Aku tahu ibu pasti sengaja mengambil lembur seminggu penuh hanya untuk membelikan kalung ini.
Plaaak, sebuah tamparan keras menghujam mendarat di pipi Rose ketika James menampar adik kembarku hanya karena ia tidak mau mengambilkan koran pagi untuk James. Suasana di meja makan berubah menjadi tegang saat ibu berusaha membela adikku.
"Sialan kau, James. Jangan pernah berani memukul anakku!" bentak ibuku kepada James yang kurasa masih setengah sadar karena di bawah pengaruh alkohol. Aku hanya dapat memeluk adikku yang menangis, tanpa kusadari hari itu adalah hari terakhirku melihat Rose di rumah ini. Memang si pemalu Rose hanya meninggalkan sepucuk surat perpisahan di dalam lemarinya yang kosong. Dan kini, sudah hampir setahun Rose tidak ada di tengah keluarga aneh ini. Seperti hilang ditelan bumi, Rose menghilang tanpa kabar berita.

Aku dan Rose lahir dan dibesarkan di kota kecil bernama New South Florida. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya cukup berdekatan sehingga kami kenal dengan satu per satu tetangga kami, mulai Nyonya Catherine Nixon seorang janda yang hidup dengan puluhan kucingnya hingga Tuan Robert Miles dan istri serta lima anaknya yang kesemua anggota keluarganya menggunakan kacamata minus berlensa tebal. Salah satu anaknya yang bernama Lucy Miles adalah sahabatku dan Rose.
Pagi itu aku bangun agak sedikit telat dan langsung bergegas mandi untuk pergi ke sekolah. Tak ada siapa pun di meja makan saat aku mengambil sehelai roti tawar dan meneguk sedikit susu di dalam lemari es. Ibu biasanya sudah pergi bekerja pada pukul lima pagi, sementara ayah tiriku masih tertidur pulas di sofa dengan beberapa botol bir dan bungkusan keripik kentang dengan remahnya mengotori karpet di ruang keluarga kami. Aku berlari kecil menuju pagar. Mataku terpaku pada kotak surat di pagar rumah. Aku sempatkan melihat apa ada surat di dalamnya. Kutemukan sepucuk surat berwarna pink bertuliskan nama Rosemary Fox. Bukan main kagetnya diriku dan sambil berlari sambil membuka surat itu. Kubaca satu demi satu kata:

Dear Beth tercinta,
Apa kabar ibu dan dirimu? Semoga kalian baik di sana. Begitupun aku di sini. Aku sudah bahagia sekarang dan hidup bersama suamiku tercinta bernama Peter Jobs. Kami tinggal di sebuah rumah yang cukup besar peninggalan ayah Peter di kota kecil Maryland. Mungkin saat engkau baca surat ini, aku sedang berada di luar kota untuk menemani Peter menemui rekan bisnisnya untuk membahas rencana perluasan lahan perkebunan gandum milik keluarga kami. Aku bermaksud unttuk mengundangmu bermalam di rumah kami di Saint Paul Fourth Street sebelah utara kota Maryland. Aku menunggu kedatanganmu, Beth sayang.
Peluk cium,
Rosemary Fox

Ya begitulah isi surat dari Rose. Agak sedikit janggal karena biasanya Rose tak pernah lupa mencantumkan tanda tangannya di setiap akhir penutup surat. Ditambah lagi Rose pernah bilang kepadaku bahwa ia tak akan menikah sebelum membahagiakan ibu dan diriku, serta menamatkan kuliah di bidang kedokteran yang memang menjadi cita-citanya sejak kecil.

Di sekolah anak-anak melakukan pelbagai aktivitasnya sebelum bel masuk berbunyi. Tampak Alicia Hogans dan gadis populer lain yang tergabung dalam grup pemandu sorak sedang berlatih membentuk sebuah piramida yang kupikir sangat bodoh dan berisiko. Sementara para kutu buku sedang menghafal rumus kimia di taman sekolah. Seorang pemuda tampan berbadan atletis bernama Matt Dawsons tengah memarkir sepeda bututnya. Ya, Matt adalah atlet renang di sekolah kami dan aku sangat menyukai Matt sejak kami masih di bangku sekolah dasar. Aku berharap bisa menjadi pacar Matt sama dengan puluhan gadis lain di New South Florida High School.
"Beth, apa kabarmu?” tanya Lucy kepadaku ketika aku menyimpan tasku ke dalam loker.
"Aku baik saja dan aku bahagia hari ini karena tadi sekilas aku melihat Matt tersenyum ke arahku saat aku melintasi parkiran!" jawabku dengan senyum aneh yang biasa kuperlihatkan ketika aku sedang bahagia.
"Well, semoga Dewi Fortuna sedang di pihakmu, Beth, karena kudengar ia baru saja putus dari pacarnya si nona sempurna, Alicia Hogans," ujar Lucy sambil membetulkan kacamatanya yang hampir melorot.
Sore itu sambil berjalan pulang aku membaca kembali surat aneh dari Rose. Tanpa kusadari Matt berhenti di sampingku dan berjalan di sebelahku sambil menenteng sepedanya.
"Halo, Beth, sudah lama kita tak pernah pulang sekolah bareng seperti dulu," ucap Matt membuka percakapan.
"Ya tentu saja, apalagi setelah engkau sibuk menjadi atlet renang tingkat nasional," sindirku.
"Ah, biasa saja, tapi memang jujur kegiatan itu sungguh menyita waktuku," jawab Matt khas anak laki-laki yang polos dan lucu.
Bahagianya aku bisa menghabiskan sore dengan mengobrol akrab dengan Matt. Malam itu sambil menunggu kantuk datang, aku membuka fotoku bersama Rose dan ayah, serta ibu. Kalung liontin itu masih tetap kupakai sampai sekarang. Setengah mengantuk samar-samar kudengar langkah kaki berat berjalan di luar lorong kamar dan tiba-tiba sekelebatan bayangan hitam menyelinap masuk kamarku yang tak tertutup.
"Siapakah itu? Halo siapa di sana?” tanyaku setengah berteriak.
"Tolong! Beth, tolong!" teriak ibu dari arah ruang keluarga. Aku kaget mendengar suara teriakan ibu dan bergegas menuruni anak tangga.
"Oh, Tuhan," bisikku ketika melihat James tewas bersimbah darah dengan tiga tusukan benda tajam di sekujur perutnya. Pria gempal berkepala botak itu kondisinya sangat mengenaskan terbaring kaku di sofa ruang televisi.
"Apa yang telah terjadi, Bu?" tanyaku kepada ibu.
"Aku tidak tahu Beth, pagi tadi saat keluar kamar hendak membuat sarapan kulihat ayahmu sedang dalam posisi seperti ini yang kupikir ia sedang tertidur," jawab ibu dengan isak tangis.
Tak lama berselang, rumah kami penuh dengan orang-orang berseragam yang tengah menyelediki kasus pembunuhan ayah tiriku. Rumah kami pun dikelilingi garis kuning polisi dengan ribuan mata yang penasaran akan peristiwa ini. Tibalah aku dan ibu di kantor polisi yang menetapkan kami sebagai saksi kasus pembunuhan tersebut. Dua jam sudah Sersan Jason Ohara, selaku penyidik kasus menanyakan ribuan hal kepada kami. Akhirnya siang hari aku dan ibu diperbolehkan untuk pulang sambil penyelidikan kasus ini terus berjalan. Kulihat ibu masih sangat trauma dengan kejadian tadi pagi. Mayat James pun belum sempat dikebumikan karena masih sedang dilakukan proses otopsi untuk mengetahui sebab kematiannya.

Jutaan pasang mata seakan menatap aneh kepadaku ketika aku pergi ke sekolah satu minggu setelah kejadian tragis itu. Semua teman sekolahku terdengar berbisik ketika aku memasuki kelas. Kudengar Alicia Hogans berseru, "Kira-kira siapa lagi ya yang akan dibunuh olehnya dan ibunya?" Seruan tadi tentu saja diikuti derai tawa murid lain di kelas geometri ini.
Tiba-tiba tangan hangat menyentuh pundakku dan berbisik dari arah belakang "Jangan pedulikan ucapan Alicia dan aku percaya bukan engkau dan ibumu pelakunya," bisik seorang pria yang ternyata adalah Matt. Tentu saja semangat itu membuatku tersenyum semu.
Kubasuh wajah sebelum pulang di wastafel kamar kecil. Saat kulepas kalungku, Alicia masuk ke dalam salah satu bilik kamar kecil di belakangku. Langsung aku pergi meninggalkan kamar kecil untuk menghindari konfrontasi. Seeeer, suara keran wastafel terdengar.
“Hei gadis bodoh, matikan kerannya, aku sedang berbicara di telepon!" bentak Alicia. Tentu saja air tetap mengalir dan membuat Alicia naik pitam keluar dari biliknya.
Alicia tak menemukan siapa pun di sana, hanya kalung liontin milik Beth yang ketinggalan karena terburu-buru pergi. Saat Alicia memasukan kalung tersebut ke dalam tasnya, sekejap sesosok tangan meraih rambut Alicia dan menyeret gadis cantik bermata biru dan berambut pirang itu masuk ke dalam salah satu bilik toilet.
"Aduh, lepaskan, tolong, tolong!” teriak Alicia sambil meronta. Tangan itu memasukkan kepala Alicia ke dalam kloset berisi air. Blurrrrpppp…, bluuuurrrrp…. Keluar masuk kepala Alicia menuju liang lubang kloset itu hingga ia kehabisan napas dan dibiarkannya tubuh Alicia yang kaku tersungkur di lantai toilet.
Lagi-lagi, akibat barang bukti berupa kalung bernama tulisan namaku, aku harus menjawab ribuan pertanyaan Sersan Jason Ohara dan seorang psikiater muda bernama Dokter Gillian Anderson yang menduga aku memiliki kepribadian ganda. Malam aneh kembali menimpa keluarga kami.
Ucapan Rose tiba-tiba teringat kembali olehku, "Tak ada yang boleh menyakitimu, Beth, karena akulah yang akan membalaskan dendammu." Ucapan terakhir Rose itu membuatku bertekad memecahkan misteri ini dan pamit kepada ibu untuk pergi ke alamat yang tertera pada surat Rose. Syukurlah ibu memberi izin dan membekaliku sedikit uang. Tentu saja ibu berharap aku pulang dengan cepat dan selamat.

Bis yang kutumpangi berhenti di sebuah halte tua di selatan Maryland. Tepat di belakangnya terdapat sebuah kedai kopi kecil yang buka 24 jam dan kebetulan malam ini perutku sangat lapar. Kumasuki kedai itu dan hanya tampak seorang pelayan tua sedang mengelap mesin pinball dan music box yang kondisinya sudah tak karuan. Kucari meja dekat jendela yang menghadap sebuah rumah besar bergaya Victorian yang sungguh terlihat seperti rumah hantu. Pelayan tadi mendekatiku.
"Malam, Nona Rose, bagaimana dengan liburannya?" Pertanyaannya membuatku bingung karena ia pikir aku adalah Rose.
"Baik saja dan menyenangkan," jawabku berpura-pura.
"Oh ya, Anda tahu di mana alamat ini?" tanyaku kepadanya.
"Hehe, Nona bercanda, ya? Itu rumah besar di ujung jalan adalah rumah Nona," jawab sang pelayan sambil menunjuk ke luar jendela padahal aku belum menyodorkan amplop yang tertera alamat Rose kepadanya. Kuhabiskan roti isi dan secangkir kopi hitam, segera pergi sambil membayar sekitar 1 dolar dan 50 sen.
Bulu kudukku tiba-tiba berdiri ketika membuka pagar besar itu. Kuketuk pintu perlahan sebanyak 4 kali ketukan. Pintu terbuka dan aku disambut oleh seorang wanita, tua berwajah kaku dan seram.
“Pasti Nona Beth, mari masuk, kebetulan Nona Rose dan Tuan Peter sedang berlibur ke luar kota," ujar wanita tua yang mengaku bernama Maria Hansen itu.
Sungguh rumah ini sangat menyeramkan. Belum apa-apa aku sudah disambut dengan suara-suara aneh seperti langkah kaki menaiki tangga hingga suara daun pintu bergerak sama seperti yang pernah kudengar malam sebelum tewasnya ayah tiriku. Petir bersahutan disertai hujan kilat menyambar jendela kamarku yang dingin di rumah itu. Samar kudengar suara pintu gerbang dengan sesosok bayangan pria besar keluar dari gerbang itu. Aku bergidik, sesuai niat awalku aku langsung mencari tahu apa saja isi rumah tua ini. Kulihat sebuah daun pintu yang sengaja ditutup dan dihalangi oleh tumpukan benda usang. Tanpa pikir panjang aku masuk ke dalam ruangan kosong itu. Gelap, hanya ada satu buah lilin sebagai penerang.
Aneh, kulihat sebuah televisi, tumpukan kaset video dan alat perekam video lengkap dengan kabel konektor ke televisi. Aku penasaran dan langsung memutar kaset video yang sudah diberi urutan nomor dari 1 sampai dengan 4. Betapa tampannya suami Rose yang bernama Peter Jobs dan betapa bahagianya pernikahan mereka. Aku bisa melihat betapa besar rasa sayang Peter kepada Rose hingga ia rutin mengabadikan setiap kegiatan Rose melalui alat perekam video. Tapi tunggu, aku melihat gambar aneh ketika Rose berciuman dengan seorang pria berbadan kekar, bermata hijau dan berambut hitam ikal yang tentu saja bukan sosok Peter dan rupanya gambar tadi tak sengaja tertangkap kamera yang masih menyala. Video keenam lebih mencekam lagi. Peter terlihat bertengkar hebat dengan Rose.
Di pinggir pantai di bawah bulan purnama. Pria tampan berambut pirang dengan kulit putih pucat itu mendorong sang istri ke tengah laut. Tanpa memberi kesempatan kepada Rose untuk bangkit dan berusaha melakukan perlawanan sedikit pun. Samar suara Rose dalam video tersebut terdengar di antara suara deburan ombak. "Kamu salah sangka, Peter. Aku dan tukang kebun keparat itu tidak ada hubungan apa pun. Aku tidak melakukan perselingkuhan itu saat engkau sedang dinas ke luar kota," bela Rose kepada Peter. Namun, apa yang dilakukan Peter adalah memasukkan kepala Rose ke dalam air laut berulang kali hingga Rose tak bernyawa.
Gambar tiba-tiba memperlihatkan bagaimana Peter mendandani mayat Rose dengan gaun putih berenda, memakaikan Rose alat make up pada wajahnya yang pucat dan menyisir rambutnya yang pirang sebahu dengan sisir kesukaan Rose. Tak lama sesudah itu, Peter mengambil seutas tali yang digantungkannya pada langit-langit kamar. Oh, Tuhan. Peter berusaha naik kursi dengan tali melingkari lehernya untuk bunuh diri. Aku kaget ketika gambar memperlihatkan seorang wanita tua yang kukenal memasuki kamar untuk menggagalkan percobaan bunuh diri itu.
"Dasar anak bodoh! Apa yang sedang engkau lakukan? Aku sudah peringatkan dulu agar jangan pernah menikahi gadis sialan itu. Biarkan saja ia mati dan lanjutkanlah hidupmu dengan menikahi gadis lain!" bentak wanita tua itu yang ternyata adalah Maria Hansen yang juga tak lain adalah ibu Peter Jobs. Pasti wanita tua itu memakai nama samaran untuk semua sandiwara ini.

Aku sudah menebak semua ini ada hubungannya dengan semua pembunuhan berantai itu. Mungkinkah Peter Jobs menderita kelainan jiwa dan teramat sangat posesif akan sosok Rose yang sudah tiada sehingga ia menganggap aku adalah istri yang ia cintai? Petir menyambar diiringi dengan suara pintu pagar di bawah sana. Tampak sesosok pria besar berjalan memasuki rumah di bawah hujan nan deras.
Oh Tuhan, aku harus segera pergi dari rumah ini. Aku berlari cepat menuju kamarku dan langsung mengunci pintu kamar. Fiuuuuh, aku menghela napas panjang dan berpikir bagaimana agar bisa keluar dari rumah ini atau mencari pertolongan. Aku meraih telepon tua di sisi ranjang namun sial, ada seseorang yang memotong kabel telepon itu. Aku langsung meraih tas ranselku dan pergi menuju jendela untuk kabur.
"Sialan, jendela ini pun terkunci dari luar!" umpatku setengah putus asa karena ketakutan. Jalan satu-satunya aku harus menyelinap keluar rumah. Ternyata bayangan sosok besar yang kerap mengikutiku bukanlah hantu atau arwah penasaran dan itu adalah Peter yang mengikuti dan mengawasiku sejak lama.
Aku menuruni tangga perlahan berusaha berjalan dalam kegelapan menuju pintu keluar di ujung lorong rumah tua ini. Lantai berderik saat aku berjinjit perlahan.
"Mau pergi ke mana, Rose Sayangku?" Suara berat seorang laki-laki tepat di belakang pundakku.
Sontak aku menjerit, "Aaaahhh!"
Seakan tak ingin aku pergi, tangan besar itu menangkap tubuhku dan membopong tubuhku menuju ruang makan. Aku memberontak tapi cengkeraman tangan Peter semakin kuat saja menyeretku yang terjatuh ke lantai. Monster gila itu menjambak rambutku dan menarik serta menyeretku ke ruang makan. Di sana sudah ada Maria Hansen sedang menyiapkan makan malam dengan meja makan yang sudah tertata rapi lengkap dengan lilin serta peralatan makan untuk dua orang. Musik Jingle Bell Blues milik Elvis Prestley terdengar mengiringi makan malam romantis itu.
"Silakan duduk, Nona," perintah Maria Hansen kepadaku.
Tanpa basa-basi, Peter merobek bajuku dan menggantinya dengan sebuah gaun putih berenda. Sesaat kemudian Peter mulai merias wajahku sehingga tampak cantik di hadapannya.
"Nah, sekarang hanya kita berdua, Rose, dan kita akan menghabiskan malam ini dengan makan malam romantis seperti dulu," ujar Peter kepadaku. Aku hampir ingin menangis ketakutan berada di dalam rumah sinting ini.
Tuuuuuuuuut… Suara teko pemanas di atas kompor berbunyi. "Tunggu sebentar, Rose, aku akan mematikan kompor," bisik Peter sambil tersenyum manis.
Inilah kesempatanku untuk kabur, pikirku dalam hati. Kuraih senapan angin yang tergeletak di meja sebagai alat pelindung, Peter kaget melihatku berusaha melarikan diri. Langsung kupukul wajahnya dengan senjata itu dan tepat mengenai pelipisnya. "Enyahlah kau, laki-laki biadab!" teriakku sambil pergi berlari meninggalkan Peter yang tersungkur ke lantai karena kesakitan.
Jantungku berdegup kencang saat berlari menuju pintu. Namun pintu terkunci dan tanpa pikir panjang aku berlari menuju loteng dan berusaha memecahkan kaca jendela besar di ujung lorong.
"Mau ke mana istriku yang cantik?" ujar Peter yang berusaha mencegahku kabur. Ia mendekat dan semakin dekat.
Tiba-tiba sesosok bayangan putih mirip diriku muncul tepat di depan Peter dan mendekati pria itu dengan mata melotot seakan menyimpan dendam kepada Peter.
"Ampun, Rose, aku tidak sengaja melakukan ini," ujar Peter terbata-bata setengah ketakutan. Peter berjalan mundur menuju jendela besar untuk menghindari kejaran arwah Rose.
Tanpa membuang waktu, aku langsung mendorong tubuh Peter ke arah jendela. "Pergilah kau ke neraka!" teriakku sambil mendorong tubuhnya hingga memecahkan kaca jendela. Tubuh Peter terempas jatuh ke tanah hingga mungkin tak sadarkan diri. Aku menghela napas lega dan sosok menyeramkan itu berubah menjadi gadis cantik dengan wajah seperti mirip denganku. Sambil tersenyum ke arahku, sosok Rose menghilang di ujung tembok.

Kisah ini berakhir dengan penuh haru. Mayat Rose dikebumikan dengan layak dekat pemakaman umum bersebelahan dengan ayah kandung kami. Matt kini sudah menjadi suamiku dan kami sudah memiliki tiga orang anak yang tampan. Sementara ibu mengabdikan masa tuanya dengan menjadi tenaga sukarela di panti jompo dekat lingkungan rumah kami. Sampai sekarang aku masih bisa merasakan kehadiran saudara kembarku itu. Terakhir kali saat kami sekeluarga pergi berjalan-jalan ke luar kota dan melewati rumah tua itu di tengah malam perjalanan pulang, kulihat tiga sosok di jendela besar itu sosok wanita tua seperti Maria Hansen, tepat di sebelahnya berdiri sosok pria bertubuh besar dan sosok gadis cantik bergaun putih itu. Mereka seakan melambaikan tangan mereka ke arahku. Mungkin mereka bertiga memang menjadi penunggu rumah tua itu.
Baiklah, jika kalian tak sengaja melewati rumah itu dan ada sesosok yang melambaikan tangan ke arah kalian, tolong titipkan salamku kepada Rose.

SEKIAN



Tentang penulis:
Pria berusia 32 tahun yang lahir di Jakarta, pada 8 Juli 1981 ini mulai mencintai dunia kepenulisan sejak bekerja sebagai editor di pelbagai media cetak. Penulis tunanetra ini menyukai gaya tulisan yang deskriptif dan lugas.
Nama: Hendro Utomo
HP: 085890548008/021-87796943
FB: hendro.utomo1

http://hendro81.mywapblog.com/beth-and-rose-by-hendro-utomo.xhtml