Support Hendro With Your Writings

Hendro Utomo is an Indonesian writer with glaucoma, then lost his sight because of it. Living with blindness doesn't make him giving up writing. This blog created to publish any kind of writings from Hendro Utomo and friends who love and continue to support him by sending their writings or writing for him on this blog. You can also publish your writings here to support him. How? Send your email to hendroutomo1981@gmail.com and spread these words.


Tuesday, October 2, 2012

The Resident

The Resident



Mengapa kamar apartemen itu selalu bau gosong seperti terbakar setiap tengah malam? Rahasia apa dibalik semua ini.

Gubrak, "Terima kasih Pak" ujarku kepada supir taksi itu. Dengan sedikit kesusahan, Aku menggotong tas dan buah koperku yang berukuran besar. Sudah hampir satu hari Aku berkeliling ke seluruh pelosok kota New Jersey untuk mencari apartemen yang murah dan dekat dengan kampusku di Joseph Hamburg University. Namaku Kelly Rugrats. Aku adalah mahasiswa pindahan dari kota kecil di Ohio. Aku menerima sebuah beasiswa kedokteran dan harus melanjutkan dua tahun berikutnya di universitas tersebut. Ayah sempat melarangku karena jarak antara Ohio dan New Jersey cukup jauh, apalagi Aku baru berusia 21 tahun.

Aku mencoba memasuki sebuah apartemen tua di hadapanku yang terletak di jalan Southern Park. Apartemen tua bergaya minimalis tersebut memang tampak kusam dan beberapa bagian dindingnya terlihat menghitam seperti pernah terbakar. Ya lumayanlah untuk sementara waktu dan kutaksir harga sewanya pun tampaknya tak mahal jika dilihat dari penampilannya yang kumuh. Kreeek pintu besar utama menuju resepsionis apartmen tersebut terdengar amat menyeramkan. "Halo ada orang didalam?" tanyaku sambil meletakkan ranselku. Mataku berusaha beradaptasi dengan ruangan apartemen yang gelap. Hanya ada satu lampu tempel di sudut meja resepsionis. Aku berputar mencari seseorang disana. Tiba-tiba sebuah tangan yang dingin menyentuh pundakku. Aku tersentak kaget seketika.


"Halo nona, ada yang bisa saya bantu?" seorang wanita tua berkulit hitam keturunan negro bertanya dengan raut wajah datar. "Namaku Mae Rita, Kau dapat memanggilku Rita" ujar wanita bertubuh gemuk itu. "Nona Kelly, Aku punya satu kamar untukmu di sudut lorong tepat di lantai tiga. Harga sewa perbulannya sangat murah dan tepat untukmu yang seorang mahasiswa" katanya. Bagaimana Ia tahu namaku, maksud kedatanganku dan diriku yang seorang mahasiswa, pikirku. Belum sempat hilang kebingunganku, Rita sudah mengangkat semua koperku menuju lantai atas. "Ya disinilah kamarmu, nona Kelly dan semoga kau kerasan disini. Jangan takut jika pada malam-malam tertentu Kau mendengar suara tangisan, itu hanya suara dari siaran drama di radio yang selalu kudengar" ujar Rita yang segera pergi ke bawah dengan bahunya yang bergidik sedikit ngeri seakan ada sesuatu di tempat ini. Ya sudahlah tak mengapa asal Aku bisa berteduh dengan harga sewa apartemen yang murah. Aku habiskan malam itu dengan membersihkan kamarku yang sedikit berdebu. Aneh Aku mencium bau gosong seperti ada sesuatu yang terpanggang saat kulihat jam tanganku yang menunjukkan waktu sekitar jam satu dini hari. Belum tuntas Aku mencari sumber bau hangus itu, kemudian sekejab sesosok putih berkelebat di hadapanku dan membuatku setengah menjerit. Sosok itu hilang di lorong menuju kamar mandi. Aku hidupkan semua lampu di tiap ruangan, namun, memang tak ada siapapun disini. Ah sudahlah mungkin Aku hanya lelah saja, pikirku menenangkan diri. Kubuka keran dan meminum sedikit air dari kran tersebut. Kubuka pintu kamar utama yang akan menjadi kamarku. Lumayan rapi dan bersih dengan tempat tidur beralaskan seprei putih yang cukup nyaman. Mataku kian berat, lalu suara tangisan seorang gadis terdengar di luar kamar. Kucari arah tangisan itu dan kulihat seorang gadis cantik berkulit pucat berdiri di ujung lorong. Kuhampirinya dengan penasaran, "Halo, mengapa Kamu berdiri sendirian disitu?" tanyaku dengan ramah. Si gadis tersenyum dan menyapaku"Namaku Emilia Richard, dan siapa namamu?" tanyanya. "Aku Kelly, penghuni baru di ujung lorong sana. Dimana kau tinggal, Emilia?" tanyaku lagi. "Oh Aku tinggal tepat di sebelah kamarmu" sahutnya. Setelah itu kami berpamitan dan berjanji akan bertemu lagi untuk mengobrol. "Oh ya Kelly, siang biasanya Aku pergi. Jika mau bertemu, Aku ada dikamarku setiap malam" sambung Emilia sambil berpamitan.

Hubungan persahabatan kami tak terasa menginjak dua bulan. Emilia kerap mampir ke apartemenku setiap malam untuk mengobrol. Malam itu Emilia tak tampak sosoknya, mungkinkah Ia sedang pergi ke suatu tempat. Aku memberanikan diri untuk berkunjung ke kamarnya. Ya ini pertama kalinya Aku bertandang ke apartemen Emilia. Bukan tidak mau, tapi Ia selalu melarangku dengan alasan kamarnya masih berantakan. Aku mengambil sekotak pizza untuk kami santap bersama. "Halo Emilia, apa Kau di dalam?"tanyaku sambil mengetuk pintu kamarnya. Tak ada jawaban, namun pintu apartemennya pun tak terkunci. Aku coba masuk ke dalam dan sangat gelap disana. Aku mencari sakral lampu lalu berusaha menyalakannya. Tampak gelap karena memang tak ada bola lampu dimanapun. Sangat aneh, apakah Aku salah masuk kamar? pikirku. Aku memutuskan untuk keluar kamarnya dan berjanji besok pagi saja Aku menemui Emilia.


Tok tok tok, kuketuk pintu itu lagi dan sama seperti semalam, tak ada respon tapi pintunya tak terkunci. Aku semakin penasaran takut terjadi apa-apa dengan Emilia. Aku membuka semua tirai jendela. Tampak semua perabotan tertutup kain putih seperti tak berpenghuni. Aneh, Emilia bilang Ia tidak akan kemana-mana dan akan tetap di apartemen ini. Aku terperanjat saat tiba-tiba tembok kamar berangsur menghitam seperti gosong terbakar. Aroma hangus itu tercium kembali hampir saja Aku sesak napas seakan begitu banyak asap. Aku berlari keluar kamar dengan wajah pucat pasi ketakutan. Kuambil air minum dan mulai menarik napas dalam.fiuuh. Ada apa sebenarnya dengan Emilia?


Rasa penasaran yang besar membuatku melangkahkan kaki ke perpustakaan nasional, The Town Center Library sore hari itu. Aku masuk ke dalam kamar arsip dan mulai membuka salah satu komputer yang dilengkapi dengan mesin pencari arsip. Kuketik alamat apartemenku untuk melihat beberapa arsip peristiwa yang pernah atau mungkin sempat terjadi di apartemenku. Oh tuhan, Aku melihat sebuah foto Emilia di sebuah koran lokal yang diberitakan tewas mengenaskan setelah diperkosa oleh pacarnya, kemudian mayatnya dibakar di dalam kamar apartemennya yang memang tepat disebelah kamarku. Pacar Emilia pun sudah dipenjara karena telah memperkosa dan membunuh Emilia sekitar 5 tahun yang lalu. Aku pulang dengan wajah pucat pasi karena gadis yang selama ini kuajak bicara adalah hantu. "Halo nona Rugrats, apa kabarmu?" sapa Jonathan, pria yang bertugas sebagai pekerja kebersihan apartemen kami. "Kabar baik, John. Apa kau melihat Rita?" tanyaku. "Oh tuhan, Rita sudah wafat sekitar lima tahun lalu saat ada peristiwa kebakaran besar disini. Aku juga kerap melihatmu tak sengaja tengah berbicara sendiri di ujung lorong" ujar Jonathan. Aku tertegun lemas dan memutuskan untuk segera pindah ke asrama kampus. - Sekian

Tentang Penulis:

Hendro Utomo adalah penulis tuna netra kelahiran Jakarta, 8 Juli 1981. Gaya tulisannya moderen, lugas dan deskriptif. Penyuka fiksi metro pop ini mengawali karir menulisnya sebagai reporter di beberapa surat kabar. Mari berkenalan dengan Hendro di email: hendroutomox81@gmail.com

http://hendro81.mywapblog.com/the-resident-by-hendro-utomo.xhtml

Segalanya Pasti Berujung #1


Kecelakaan itu merenggut semuanya dari hidup Narita. Ayah, Ibu, dan kebahagiaan masa kecilnya. Harus menghadapi kenyataan itu di usia 10 tahun bukanlah hal yang mudah bagi Narita. Apalagi dia hanya memiliki seorang nenek yang usianya juga sudah sangat tua dan hanya bekerja sebagai seorang pembuat tikar anyaman dari bambu. Sejak meninggalnya ayah dan ibu Narita, ia tinggal bersama neneknya dan mengandalkan warisan harta orang tuanya untuk bertahan hidup dan melanjutkan pendidikan.

Cobaan itu tak lantas menjadikan Narita sosok yang lemah tetapi dia justru menjadi kuat dan mandiri. Dia menjadi dewasa lebih cepat dari usia yang sesungguhnya. Dia terbiasa bekerja keras mencari uang tambahan dan tidak menjadi anak yang manja.

Nenek Narita meninggal saat usia Narita 12 tahun. Usia yang masih terlalu muda untuk hidup sebatang kara di dunia seluas ini.

Narita melanjutkan hidupnya dengan jatuh bangun dan semua halang rintangnya untuk sekedar bertahan hidup. Dengan sisa warisan yang sudah tidak banyak lagi dan uang hasil kerja paruh waktunya di sebuah toko milik tetangganya, Narita bercita-cita untuk menyelesaikan sekolah SMP nya dan akan terus berjuang agar bisa lanjut ke SMA.

Segala macam usaha dijalani oleh Narita demi menyelesaikan SMP nya. Menjaga toko, loper koran, menjajakan gorengan buatannya sendiri, sebagai tukang ketik di rental komputer, guru les anak SD, guru privat menari, sampai tukang cuci pun pernah dilakoninya demi melanjutkan hidup dan menyelesaikan sekolahnya. Ejekan dan hinaan teman sekolahnya sudah tak ia gubris lagi. Dia sudah kenyang dengan segala macam cacian, makian, umpatan, sumpah serapah, hinaan, bahkan tamparan pun pernah ia terima karena statusnya yang memang sungguh mengenaskan itu. Walaupun sebenarnya masih ada Reza yang selalu membelanya. Tapi Narita justru menanggapi dingin bantuan Reza.

Reza adalah kakak kelas Narita yang sudah memiliki rasa pada Narita sejak Narita masuk ke SMP yang sama dengannya. Dia selalu menjadi sosok pahlawan saat Narita dalam kesulitan. Karena itu pula Narita pun memiliki perasaan yang sama pada Reza. Tapi Narita justru membohongi perasaannya sendiri karena perbedaan status mereka yang amat drastis. Ia justru menjauhi Reza karena merasa dia yang miskin ini tak pantas bagi Reza yang orang tuanya adalah seorang konglomerat. Apalagi Reza adalah cowok idaman para cewek di SMP tempat ia sekolah. Tak mungkin dia mampu bersaing dengan anak-anak orang kaya yang cantik-cantik itu. Dia tak pernah mengungkapkan perasaannya pada Reza dan juga tak pernah memberikan kesempatan bagi Reza untuk mengungkapkan perasaannya. Narita tak pernah bertemu lagi dengan Reza sejak Reza lulus, sedangkan Narita baru kelas 8. Reza dan perasaannya hanya berlalu sebagai kenangan.

Kerja keras Narita terbayarkan oleh prestasi yang dicapainya saat lulus SMP. Dia berhasil menduduki peringkat pertama paralel di sekolahnya. Karena prestasinya itulah ada sebuah keluarga kaya yang mengangkatnya sebagai anak dan menyekolahkan Narita di sebuah SMA favorit.

Kehidupan Narita memang berubah 180 derajat. Sekarang hidupnya serba berkecukupan tanpa takut kekurangan. Segala fasilitas telah dipenuhi oleh kedua orang tua angkatnya kecuali satu, yaitu kasih sayang. Ortu Narita sekarang tinggal di Sidney kerena urusan pekerjaan dan hanya pulang  ke Indonesia saat Hari Raya alias setahun sekali. Bukan karena hemat ongkos ataupun tak ada waktu. Tapi mungkin mereka lebih senang mengumpulkan uang disana daripada sekedar menemani anak angkatnya yang mereka anggap sudah bisa hidup tanpa mereka. Narita tidak mau ikut dengan mereka karena dia lebih suka tinggal di Indonesia walaupun akhirnya dia merasa kesepian.
Sekarang Narita sudah kelas XI. Sudah 2 tahun ini Narita menempati rumahnya yang luas bagai istana hanya bersama pembantu dan supirnya ditambah lagi satu orang satpam.

>>>>>>>>>> 

Entah mengapa hawa-hawa suram dari dalam rumah itu terpancar begitu kuat bahkan hanya dengan menginjakkan kaki di halamannya saja. Sebuah rumah besar bercat kuning gading dengan desain kayu yang bernuansa tradisional. Memang bagus dan tampak seperti rumah orang berpunya. Tapi semua orang juga tau bahwa yang ada di dalamnya adalah simbol dari kekejaman dunia dan ketidakadilan takdir, yang mungkin juga pernah dirasakan Narita.

“PANTI ASUHAN KASIH BUNDA”

Dari tulisan di papan putih yang sudah usang itu pasti semua orang juga tau apa yang ada di dalamnya. Anak-anak yang terpisah dari orang tua dan keluarganya dengan berbagai macam alasan. Anak-anak yang masa kecilnya bisa dibilang suram. Dan sekarang Narita berada di halaman rumah ini. Narita kesini untuk mencari sosok yang kemudian ingin sekali ia angkat menjadi saudara.

Niat Narita ini sudah mulai terpikir sejak setahun yang lalu. Kesepian benar-benar membuatnya merasa tersiksa. Berhubung dia anak tunggal dari ortu angkatnya, Narita pernah meminta ortunya untuk mencarikannya saudara angkat agar bisa dijadikan teman. Mereka bilang iya tapi sampai sekarang tak juga ada tindakan dari ortunya. Akhirnya 2 minggu yang lalu Narita memberanikan diri meminta ijin pada mama papanya untuk mencari sendiri saudara angkat. Dan kedua orang tuanya pun menyerahkan semuanya pada Narita. Mereka percaya bahwa Narita bisa melakukan semuanya sendiri. Karena memang jalan pikirannya sudah seperti orang dewasa.

>>>>>>>>>>> 

Bu Ning mengantarnya menyusuri lorong-lorong seperti yang pernah dilihatnya di kastil yang ada di buku cerita. Tapi bedanya lorong-lorong ini terang benderang dan dipenuhi tempelan-tempelan dinding yang kalau boleh ditebak pasti itu hasil karya anak-anak panti ini.

Bu Ning adalah pengelola panti yang diamanahi oleh pemiliknya yang sekarang tinggal di Malaysia untuk mengurus panti ini. Seorang wanita dengan wajah keibuan yang sudah mulai tampak kerut-kerut di wajah menandakan usianya sudah tidak muda lagi. Dan yang membuat Narita heran, di panti ini tak ada pegawai, hanya Bu Ning dan anaknya Yuli yang berusia sekitar 24 tahun yang merawat hampir 17 anak di panti asuhan ini. Sungguh wanita-wanita yang tangguh.

“Silakan……”
Bu Ning mempersilakan Narita untuk memasuki sebuah ruangan di depan mereka. Begitu Narita mengarahkan matanya pada apa yang ada di dalamnya, ia merinding. Ia melihat wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang mengatakan kerinduan kepada ayah dan ibu mereka. Wajah-wajah yang seolah merupakan cermin dari dirinya sendiri beberapa tahun yang lalu.

Di dalam ruangan itu Narita melihat anak-anak sedang berkumpul dengan aktivitasnya masing-masing. Membaca buku cerita, ada yang belajar, ada yang sedang bermain dengan alat-alat musik yang sengaja disediakan oleh pemilik panti, ada yang hanya berbincang-bincang seru bersama kawannya, dan ada pula yang hanya konsentrasi menonton TV. Wajah mereka seperti tak ada beban. Sepertinya tidak sesuram yang Narita bayangkan. Mereka tampak senang dan bahagia. Atau mereka memendam perasaan mereka? Tapi, wajah mereka yang lugu sepertinya tidak menyembunyikan sesuatu.

Narita mendekat pada mereka. Ia ajak salah satu dari mereka yang wajahnya dirasa paling lucu untuk sedikit ngobrol. Seorang gadis kecil dengan rambut kepang dua dengan hidung kecil dan bibir yang mungil. Narita pikir dia akan menjadi gadis yang cantik jika dewasa nanti. Namanya Fanny.

Narita mendekati anak-anak panti itu satu persatu. Mencoba mengira-ngira seperti apa mereka dari obrolan singkat dan pertanyaan-pertanyaan sama yang ia ajukan pada mereka semua. Jawaban mereka sungguh tampak lugu. Coba bisa Narita bawa semua anak-anak itu.

Mata Narita mulai lirik kanan lirik kiri memilih-milih mana yang cocok untuk dijadikan adik. Narita memandangi mereka satu persatu. Menimbang-nimbang, mengira-ngira, bertanya pada hati…..sampai kemudian….

Mata Narita tertuju pada sosok yang sejak tadi luput dari pandangannya. Seorang anak berusia sekitar 13 tahun sedang duduk di balkon ruangan itu. Sepertinya dia tidak terlihat karena tertutup oleh gorden.

Anak itu duduk memandang langit di kejauhan. Tatapan matanya kosong. Sungguh seorang anak yang tampan. Kulitnya yang agak hitam manis, hidung mancung, bibirnya yang merah mungil dan perawakannya yang tegap proporsional membuat penampilannya menarik walaupun dandanannya sederhana dan terkesan berantakan. Begitu terpananya Narita melihat anak itu sampai-sampai tak sadar Bu Ning sudah sejak tadi mengajukan pertanyaan yang sama padanya…

“Bagaimana, Mbak?”

Narita terkesiap melihat Bu Ning sudah berdiri sambil memandang heran.
“Eh….Ibu….Mmmmm…..itu siapa ya?”
Narita menunjuk pada sosok yang membuatnya terpana sejak tadi.

Bu Ning melihat ke arah telunjuknya kemudian menghela napas sebelum akhirnya tersenyum.
“Oh….itu Dicky…..”

“Kenapa dia tidak bermain bersama teman-temannya?”

“Dia seperti itu sejak dia datang kesini 6 bulan yang lalu. Dia belum pernah sekalipun bermain bersama anak-anak yang lain. Dan saya juga tidak pernah berhasil membujuknya bahkan untuk sekedar membuatnya tersenyum. Dia tak pernah mau bicara pada kami. Entahlah…..”

Tanpa mendengar penjelasan selanjutnya dari Bu Ning, Narita langsung melangkah menghampiri anak itu. Dicky….. Terlihat kesedihan yang begitu dalam di matanya. Entah apa yang dia sembunyikan.

Narita duduk di sampingnya lalu mengulurkan tangan dengan niat ingin mengajaknya bersalaman.
“Hai…..”

Tapi dia sama sekali tak merespon. Bahkan melirikpun tidak. Akhirnya Narita memutuskan memperkenalkan dirinya sendiri
“Hai….namaku Narita, kamu?”

Dia tetap tak melirik sedikitpun. Tapi Narita merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Dicky. Dan sepertinya hatinya mengatakan inilah yang dia cari. Narita bertekad akan meluluhkan hati Dicky dan membawanya pulang walaupun ia sudah merasa bahwa itu bukan hal yang mudah.

Narita tetap mencoba mengajaknya bicara. Menanyakan apa saja yang sekiranya bisa dia tanyakan. Tapi Dicky tak menjawab satupun dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan Narita. Beralih taktik, Narita tidak lagi memberi pertanyaan pada Dicky tapi Narita bercerita apa saja yang bisa dia ceritakan. Tentang langit yang indah saat itu, tentang Jakarta yang panas, tentang teman-temannya dan kesehariannya, bahkan tentang masa lalunya. Tapi sekali lagi Dicky tak memberikan respon sedikitpun hingga Narita merasa seperti orang bodoh yang berbicara sendiri. Bahkan saat Narita berjongkok tepat di hadapan Dicky pun ia sama sekali tak melirik padanya. Fiuh…..

Bu Ning memberikan isyarat agar Narita meninggalkan Dicky sendiri. Narita pun juga merasa tenggorokannya sudah kering setelah berbicara panjang lebar pada Dicky (walaupun tanpa respon sama sekali). Ia pun beranjak meninggalkan balkon dan berjalan menuju Bu Ning.

“Kenapa dia seperti itu, Bu?”
Narita menanyakan tentang sikap Dicky yang amat sangat dingin saat berjalan menuju ruang kerja Bu Ning.

“Mungkin dia masih terbayang wajah keluarganya yang dulu, Mbak.”

“Oh iya, Bu, kehidupan Dicky dulu seperti apa? Kenapa sepertinya dia memendam perasaan yang sangat sedih. Tatapan matanya seperti……”

“Kosong.”
Belum sempat Narita menyelesaikan Kalimatnya Bu Ning sudah melanjutkannya dan tepat seperti apa yang akan dia katakan. Narita semakin penasaran dengan anak itu.

“Enam bulan yang lalu dia saya temukan berjalan sendirian di daerah stasiun. Dia tampak kebingungan. Sepertinya mencari-cari orang tuanya. Saya pikir dia anak hilang. Saat saya tanya, dia bilang dia mencari ayahnya yang mengatakan akan membelikan minum untuknya dan menyuruhnya menunggu di ruang tunggu. Tapi Dicky mengatakan sudah hampir dua jam ayahnya tak kembali. Sepertinya ayahnya sengaja meninggalkannya. Saya sudah mencoba mengumumkannya di speaker stasiun tapi tak ada yang menjemputnya. Akhirnya saya bawa saja dia pulang. Saat itu tangannya benar-benar dingin dan gemetar, Mbak, kasihan….”

Narita mendengarkan dengan tak henti-hentinya merinding.
“Dia pasti sangat ketakutan.” Narita mencoba membayangkan apa yang dialami Dicky.

“Dicky bilang ibunya sudah meninggal saat dia masih bayi. Dia tidak pernah bertemu ibunya. Dia hanya tinggal bersama ayahnya. Entah kenapa ayahnya tega meninggalkan dia sendirian.”

Narita benar-benar merasa terhanyut dengan kisah hidup Dicky. Dia bisa merasakan apa yang dirasakan Dicky karena setidaknya dulu dia juga merasakan ditinggal orang-orang yang disayanginya. Tapi bedanya kalau dia dipisahkan oleh maut yang memang tak seorangpun bisa menolaknya. Tapi Dicky, dibuang oleh orang tuanya sendiri. Betapa sakitnya hati Dicky mengalami semua itu.

“Sepertinya saya ingin mengangkat dia jadi saudara saya, Bu.”

Bu Ning seperti tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakan Narita.
“Tapi Mbak Narita kan sudah melihat sendiri keadaan Dicky. Bahkan dia sama sekali tidak menganggap Mbak Narita kan?”

“Saya akan terus mencoba meluluhkan hatinya. Jadi, mungkin saya akan sering-sering kesini nanti.”
Narita tersenyum meyakinkan Bu Ning.

“Oh iya tak apa-apa Mbak. Saya juga akan merasa senang jika akhirnya Mbak bisa mengajak Dicky bicara. Terus terang saya sudah mencoba berbagai macam cara tapi dia sama sekali tak bergeming.”

“Iya Bu, saya akan berusaha. Mmmmm……kalau begitu saya pamit dulu. Saya akan datang lagi lain waktu.”

“Oh iya silakan Mbak. Silakan saja kalau mau datang lagi. Kalau misalnya nanti saya sedang tidak ada di rumah, Mbak langsung masuk saja. Atau bisa minta diantar sama Yuli. Anggap saja rumah sendiri Mbak.”

“Iya Bu, terimakasih……mari Bu….”

“Iya, Mbak, silakan.”

Narita meninggalkan panti asuhan itu dengan hati yang teguh dan penuh semangat untuk meluluhkan hati Dicky. Dia benar-benar telah ‘jatuh cinta’ pada anak itu.

>>>>>>>>>>> 

Dua hari kemudian Narita datang lagi ke panti asuhan itu. Kali ini dia membawa berbagai macam makanan yang akan dia bagikan pada anak-anak panti.

Dia membagikan coklat, permen, kue dan makanan kecil lainnya pada anak-anak. Setelah itu dia menghampiri Dicky yang entah mengapa tetap berada di balkon dan duduk di tempat yang sama seperti saat pertama kali ditemuinya dulu.

“Hai Dicky….”
Narita mencoba bersikap semenyenangkan mungkin pada Dicky. Tapi seperti biasa Dicky tetap tidak begeming.”

“Mmmmm…..aku punya coklat buat kamu.”
Narita menyodorkan dua batang coklat pada Dicky. Jangankan menyentuhnya, mengalihkan pandangan saja sama sekali tidak. Narita pun berpindah posisi tepat di hadapan Dicky. Dia merayu dengan berbagai macam cara agar Dicky mau menerima pemberiannya. Segala macam rayuan, bujukan, dan kata-kata manis meluncur deras dari mulut Narita. Ekspresi ceria penuh harap pun tak mau ketinggalan dengan coklat yang terus teracung di hadapan Dicky.

Narita pikir Dicky akan melunak dan menerima coklat yang dia berikan, tapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Tanpa disangka Dicky bereaksi di luar dugaan. Coklat yang sejak tadi teracung di hadapannya tiba-tiba dia tepis secara kasar dengan kedua tangannya hingga terjatuh.

“PERGI!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Dicky berteriak amat sangat kencang dan tampak sangat terganggu. Tatapan matanya sekarang justru tampak sangat marah pada Narita yang sudah mengusik hari tenangnya.

Narita benar-benar tak menyangka Dicky akan bereaksi seperti itu. Dia terpaku menatap Dicky tak percaya saking kagetnya.

“Pergi!!!!!!!”
Dicky mengulangi bentakannya. Narita benar-benar tak menyangka. Dia pun meninggalkan Dicky perlahan dan masih tak percaya bahwa anak yang semula diam tak begeming bagai patung tiba-tiba membentaknya dengan amarah yang meluap. Narita pun pulang dengan perasaan yang amat sangat penasaran. Tapi semua itu tak justru membuat Narita menyerah tapi malah menambah tekadnya untuk bisa mengangkat Dicky menjadi adik.

‘Anak itu butuh kasih sayang. Dia tak boleh terus dibiarkan seperti ini atau dia akan semakin kacau‘, pikir Narita.

>>>>>>>>>>>>>> 

Sejak saat itu Narita justru semakin sering mengunjungi Dicky. Dia terus mengeluarkan segala apa yang dia bisa lakukan untuk menarik perhatian Dicky. Mulai dari membawakannya makanan, mainan, buku cerita, menemani Dicky seharian dan menceritakan apa saja yang dia alami seharian, mendongeng bahkan bernyanyi tak jelas pun dilakukannya setiap kali dia datang menjenguk Dicky.

Berbagai perlakuan yang tak menyenangkan dan reaksi yang tak mengenakkan dari Dicky pun seringkali dialaminya. Mulai dari bentakan, teriakan, diacuhkan seharian, ditinggalkan begitu saja, didorong dengan kasar sampai sekedar tatapan marah pun pernah dialami Narita.

Hampir dua bulan Narita terus berusaha mendekati Dicky tapi sepertinya hasilnya nol. Benar-benar tak ada perubahan sedikitpun. Narita mulai merasa lelah dan putus asa. Saran Bu Ning untuk memilih anak lain sepertinya harus mulai dipertimbangkan walaupun sebenarnya hatinya masih sangat amat ingin Dicky lah yang menjadi saudara angkatnya.

>>>>>>>>>>>>>> 

Hari ini ulang tahun Dicky, 18 Juni, Narita kembali menyempatkan diri untuk mengunjungi Dicky walaupun dia baru bisa ke panti sekitar jam 5 sore karena seharian tadi ia padat jadwal sekolah dan les. Tapi hari ini Narita mulai berpikiran untuk melirik anak lain yang bisa dia angkat menjadi saudara. Berat rasanya bagi Narita melepas Dicky. Tapi mau bagaimana lagi, kalau Dicky tak juga mau merespon. Dia juga tak ingin membuang waktu untuk meraih apa yang tak bisa dia raih. Yang penting kan sudah berusaha.

Narita datang dengan membawa kue ulang tahun yang akan dia berikan untuk Dicky. Seperti biasa dia menuju balkon ruang bermain dimana Dicky selalu menghabiskan hari-harinya tanpa bosan(itu juga yang membuat Narita heran).

Narita menuju balkon dengan semangat yang tinggal 1/4. Hhhhh….benar-benar sulit kalau mengingat bahwa dia harus melepaskan Dicky.

Langkah Narita terhenti sebelum sampai di balkon. Ada yang……

Dicky tidak ada disana. Kemana dia? Tidak biasanya dia tak menduduki singasana kebesarannya itu. Narita pun bertanya pada anak lain.

“Novi, liat Dicky ngga?”

“Ngga, Kak”, kata anak yang bernama Novi.

Narita terus bertanya pada anak-anak yang lain tapi tak ada satupun yang tau. Narita mulai merasa khawatir. Dia letakkan kue ulang tahun yang dibawanya di meja begitu saja dan langsung menuju ruang kerja Bu Ning. Tapi Bu Ning pun tak ada di ruang kerjanya. Narita mulai merasa panik. Dia menyusuri tempat-tempat yang dia tau di rumah itu, berharap bisa menemukan Dicky.

Dicky tak ada dimanapun. Narita tak bisa menemukannya. Sekarang dia benar-benar merasa takut terjadi sesuatu pada Dicky mengingat kondisi psikologisnya yang tak begitu baik.

Narita terus mencari dan mencari. Langkah kakinya juga semakin cepat seperti hampir berlari. Rumah itu sangat luas dan Narita hampir kelelahan berlari kesana-kemari. Tapi Dicky tetap tak ada dimanapun sampai akhirnya dia bertemu Yuli yang juga berjalan tergesa-gesa.

“Mbak Yuli…”
Yuli melihat Narita dan wajahnya tampak semakin panik saat melihat Narita.

“Ya Ampun Mbak Narita….”

“Kenapa Mbak?”
Narita jadi semakin parno.

“Dicky, mbak….”
Deg!!!!!! Jantung Narita terasa terhenti dan dia mulai merasakan sekujur tubuhnya merinding dan berkeringat dingin.

“Dicky kenapa, mbak?”
Narita bertanya dengan nada amat sangat panik. Pikiran buruk dan bayangan yang tidak-tidak mulai melintas di benaknya. Tanpa berkata apapun Yuli langsung menggandeng tangan Narita dan membawanya menuju halaman belakang.

To Be Continued
Bottom of Form

Monday, October 1, 2012

The Fashion Jungle


    Posted by Hendro Utomo on 01:27 PM, 02-Sep-12
THE FASHION JUNGLE
by Hendro Utomo


MANOLO, Prada, Gucci dan nama lainnya itu selalu mengelilingi hidupku. Sebuah catatan di balik gemerlapnya panggung runway, rumah mode, serta surga para supermodel yang dipenuhi intrik, cinta, dan persaingan, demi sebuah popularitas.

“Action!” teriakan sang editor mode Vogue, majalah fashion ternama, itu terdengar lantang dan bersemangat. Musik bertempo cepat mengalun sebagai latar belakang pemotretan halaman mode untuk edisi musim gugur kali ini. Indahnya Laut Mediterania di utara Yunani menjadi lokasi foto bertema “The Bold and Beautiful” itu. Lima orang model cantik yang berasal dari Brazil dan Venezuela dengan anggun mengenakan gaun rancangan Amy Hope dari rumah mode ternama bernama Alexandria yang berlokasi di Fifth Avenue, tepat di pusat Kota New York yang seakan tak pernah tidur dan kerap memberikan banyak keindahan, apalagi bagi para pencinta mode dunia.
***
Aku berjalan di atas trotoar di mana berjejer butik-butik ternama seperti Alexander McQueen, Hermes, dan beberapa nama besar lain, saat aku berjalan menuju kantorku di pagi yang cerah itu. Dengan menenteng segelas kopi panas yang sempat kubeli tadi, aku melangkah penuh percaya diri dengan mengenakan setelan dari Dolce Gabbana dan tak lupa sepasang sepatu bertumit tinggi sekitar 10 sentimeter bermerek Jimmy Choo.
“Selamat pagi, Nona Hope,” sapa ramah seorang petugas keamanan di kantorku yang biasa kusapa dengan sebutan Ricky, laki-laki bertubuh tegap berdarah Latin, ketika aku melangkah memasuki kantorku.
“Pagi juga, Ricky, bagaimana akhir pekanmu?” tanyaku dengan senyuman paling manis.
“Semua berjalan baik, Nona. Semoga harimu menyenangkan,” ujar Ricky sambil membukakan pintu untukku dengan sopan.
Namaku Amy Hope, dan aku biasa dipanggil Amy oleh semua orang yang mengenalku. Aku baru saja merayakan ulang tahunku yang ke-31 tahun bulan Juli lalu. Aku dilahirkan di West Virginia, sebuah kota kecil di salah satu negara bagian Amerika Serikat. Aku mencintai semua hal yang gemerlap dan mahal seperti setelan Gucci, dan tentu saja sama seperti semua gadis, aku pun tergila-gila serta percaya ramalan bintang. Tak heran aku bisa membeli semua majalah dan koran hanya untuk mengintip peruntunganku dan asmaraku hari ini. Sahabatku di kantor, yaitu Robert Duvall, sampai detik ini tak percaya aku bisa memiliki hobi gila tersebut.
Aku lulusan sekolah mode di Manhattan dan ini tahun keduaku bekerja di rumah mode ternama Alexandria sebagai perancang busana untuk label tersebut. Oh, ya, rumah mode yang sudah ada sejak puluhan tahun itu dimiliki oleh seorang janda tua keturunan Prancis yang sangat cantik bernama Viviene Fox, yang dikenal sangat bertangan dingin dan memiliki selera tinggi di dunia mode. Syukurlah Viviene sangat menyukai semua rancanganku yang sangat mahal dan sophisticated. Namun, sayang, Viviene akan menjual sahamnya kepada sebuah rumah mode dari Paris dalam waktu dekat ini dikarenakan ia memutuskan untuk pensiun dan pulang ke kampung halamannya di Prancis.
***
Sambil membalas semua email masuk, aku asyik membaca beberapa harian surat kabar seperti The New York Post untuk melihat betapa suksesnya pagelaran busana koleksi musim semi dari label Haute Couture rumah mode Chanel di Milan beberapa hari lalu. Saat itu aku pun hadir sebagai tamu undangan.
“Pagi, Amy, aku baru saja melihat hasil rancangan barumu tadi di Fashion TV dan kupikir kamu akan memenangkan posisi sebagai kepala desain di kantor kita,” ujar Robert saat makan siang.
Robert adalah seorang pria gay yang bekerja di divisi berbeda yaitu sebagai koordinator mode. Ia menjadi sahabatku sejak pertama kali aku diterima bekerja di sini.
“Robert, aku dengar anak Viviene yang baru lulus sekolah mode di Inggris akan bergabung dengan kita,” ujarku. “Maksudmu, si gadis jalang yang bernama Miranda Fox itu, ya?” selidik Robert.
Miranda adalah anak satu-satunya Viviene dari suami pertamanya. Gadis manja itu dikenal sangat culas dan ingin menguasai kerajaan rumah mode Alexandria. Gadis cantik berusia 21 tahun tersebut sebenarnya tidak menguasai rancangan busana. Ia hanya terpaksa mengikuti jejak sang ibu.
“Amy, coba lihat hasil fotoku di Dubai minggu lalu,” ujar Jonathan Nixon, fotografer senior yang usianya masih sangat muda.
“Baiklah, aku akan mampir nanti ke ruanganmu sebelum pulang. Oh, terima kasih, Jon, untuk hadiah ulang tahun darimu. Sebenarnya kau tidak perlu repot untukku,” ujarku sambil membuka iPad-ku untuk melihat pesan masuk.
“Oh, tak apa, aku senang melakukannya. Oh, ya, Amy, apa besok malam kau ada acara?” tanya Jon dengan malu-malu.
“Well, aku belum tahu. Memangnya ada apa, Jon?” tanyaku.
“Aku mau mengajak kau makan malam jika kau tidak keberatan,” jawab Jon.
“Oke, aku akan mengabarimu nanti malam. Oh, ya, Jon, aku harus pergi dulu untuk bertemu para buyer, para pemborong dari beberapa department store, yang akan membeli pakaian label kita,” pamitku sambil setengah berlari ke luar ruanganku karena memang aku takut terlambat.
Sepanjang perjalanan, di dalam mobil aku teringat wajah Jon yang tampan, saat tadi ia mengajakku untuk pergi makan malam besok. Jujur, sejak lama aku sudah mengagumi Jon karena ia sangat ramah dan pekerja keras. Pria bermata hijau itu adalah seorang duda yang kehilangan istrinya saat tengah melahirkan anak pertama mereka sekitar tujuh tahun lalu dan tampaknya ia menutup hati untuk kembali berhubungan dengan wanita lain sejak kejadian itu.
Andaikan aku bisa menjadi kekasihnya, batinku sambil tersenyum simpul.
***
Pagi itu bagaikan neraka. Belum genap satu minggu ia masuk, Miranda sudah mempermalukanku di rapat barusan. Si gadis jalang itu menyebut rancangan musim gugurku sebagai jiplakan sempurna karya Valentino. Ia tampaknya sudah mengibarkan bendera perang denganku.
Sementara itu, aku dan Jon sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Kehadiran Jon membuat hidupku sempurna. Jon pria yang sama sekali tidak romantis dan cuek. Namun, ia mencintaiku dengan gayanya yang apa adanya itu.
Aku bahagia mengingat malam itu. Sepulang kerja, kami makan malam. Setelah itu, Jon mengajakku berjalan-jalan sebentar di taman kota New York, Central Park, tepat di malam hari tak berbintang itu. Jon membelikanku sekotak popcorn rasa karamel kesukaanku di pinggir jalan menuju taman. Sambil tersenyum tanpa berkata sepatah kata pun, Jon menatap hangat mataku saat aku memakan popcorn seperti anak kecil. Aku tak henti-hentinya berbicara dengan mulut penuh popcorn. Mataku terbelalak saat jariku menyentuh sebuah benda asing di dalam kotak popcorn-ku. Sebuah cincin berlian berada di antara butiran jagung itu.
“Apa ini, Jon?” tanyaku masih tak percaya.
Sambil memasangkan cincin berlian itu, Jon berkata, “Amy Hope, maukah kau menjadi istriku dan ibu bagi anak-anak kita kelak?”
Ah, Jon melamarku!
Tak terasa air mata jatuh di pipiku dan aku langsung menjawab dengan lantang, “Ya, aku bersedia!”
Jon mencium tanganku dan memelukku di tengah puluhan burung dara yang beterbangan di tengah taman kota. Kami berciuman dan tanpa terasa gerimis jatuh saat bibir kami bertautan. Jon meraih tanganku dan mengajakku berlari menghindari hujan dan kami berlari sambil tertawa-tawa seperti dua anak kecil malam itu.
***
“Apa yang kamu lakukan dengan para undangan itu, Miranda?” tanyaku dengan kesal dan marah kepada si anak manja pagi itu. Kulabrak dia di ruangan kantornya yang megah dan berukuran tiga kali lebih besar daripada ruangan kantorku.
Dengan jawaban polos Miranda berujar, “Aku hanya mengirimkan e-mail pengunduran jadwal showcase koleksi barumu kepada para media dan buyer.”
Hampir saja aku menerkamnya saat ia berada tepat di hadapanku dan menusuknya dengan ujung tumit sepatu Prada-ku. Ya, Miranda membatalkan jadwal pagelaran busana kecil untuk para media dan buyer yang sangat penting bagi kelangsungan perusahaan ini hanya gara-gara ia telah membuat janji dengan dokter bedah kulitnya untuk jadwal suntik botox dan face lift wajahnya agar tampak kencang dan awet muda!
“Kamu tenang saja, karena aku akan membereskan masalah ini. Sampai ketemu di ruang meeting dan jangan telat,” ujar Miranda sambil pergi.
Rrrrggghhh…! Aku geram dengan sikapnya yang tak tahu aturan itu.
Pagi itu Viviene akan memilih salah satu rancangan terbaik kami untuk koleksi besar musim panas tahun depan dan rencananya koleksi itu akan dijual ke seluruh penjuru dunia. Tentu saja aku sudah menyiapkan tema tentang gaun-gaun berbahan lace yang sangat anggun dan mahal yang kusebut sebagai “The Summer of Lace” untuk tema kali ini.
Miranda mengambil giliran pertama presentasi kepada semua divisi di kantor kami. Dengan bangga ia menjelaskan konsep rancangannya yang bertema “Summer Paradise”, yang menggabungkan bahan ringan dan warna berani sebagai koleksi andalannya. Aku kaget setengah mati mendengar idenya itu, karena semua itu tentu saja bukan murni hasil gagasan Miranda.
Beberapa waktu lalu, aku sempat membeli sebuah majalah dengan niat untuk mengintip isi ramalan bintang di majalah tersebut dan memang ide Miranda sudah ada di salah satu halaman mode di majalah itu. Kalau tidak salah, isinya bercerita tentang tema koleksi busana yang akan digemari tahun depan untuk musim panas. Ternyata Miranda mencontek ide tersebut.
Tanpa memberiku kesempatan untuk memperkenalkan koleksiku, Viviene yang sudah telanjur jatuh hati dengan ide Miranda, lalu ia langsung menutup sesi meeting pagi itu. Bukan main kesalnya hatiku.
Aku lembur malam ini untuk mengedit tulisan yang akan kami gunakan sebagai artikel di salah satu majalah fashion. Entah dari mana datangnya pikiran jahat itu, aku mengambil majalah yang di dalamnya terdapat ide yang dicontek Miranda. Aku scan halaman itu, lalu aku e-mail ke semua orang dari berbagai divisi, termasuk Viviene. Pikiranku heboh sendiri memikirkan reaksi Miranda besok pagi.
***
Akhirnya semua orang tahu soal akal licik Miranda dan tentu saja rancangankulah yang dipakai untuk koleksi tahun depan.
Hari ini adalah hari besarku. Puncak peragaan busana koleksiku akan digelar malam ini. Kami mengundang semua tamu dari segala penjuru dunia. Acara mewah ini diadakan di Madrid, Barcelona, di sebuah hotel mewah yang biasa menjadi tempat menginap orang-orang terkenal dan kalangan jetset. Sebuah pagelaran busana besar telah dipersiapkan untuk menampilkan koleksi baruku di bawah label Alexandria, dan namaku akan diperkenalkan sebagai desainernya. Panggung runway berbentuk melingkar sudah berdiri megah di sana. Tampak beberapa model dari seluruh dunia akan membawakan busana rancanganku.
Robert tengah sibuk mengatur semua model di sesi geladi bersih. Belakang panggung sudah penuh sesak dengan para model dan penata rias yang sibuk mendandani mereka di tengah tumpukan gaun-gaun yang telah diberi nama sesuai nama model pengisi acara. Musik sudah terdengar dan acara akan dimulai sesaat lagi.
Tampak Viviene dan Miranda duduk di barisan depan tepat di sampingku. Oke, inilah saatnya. Acara dibuka dengan lima orang model yang berjalan penuh percaya diri sebagai sesi pembuka peragaan busana bertajuk “The Summer of Lace” ini. Silih berganti semua model mengambil gilirannya di atas runway.
Tibalah puncak acara, saat pembawa acara akan mengumumkan namaku sebagai desainer kebanggaan Alexandria. “Para hadirin yang terhormat, dengan bangga kami panggil desainer di bawah label Alexandria untuk naik ke atas panggung megah ini!” teriak seorang pria pembawa acara. “Kami panggil ke atas pentas, Nona... Nona Miranda Fox!” ucap pria itu lantang.
Sontak aku kaget mendengar nama itu disebut. Drama apa lagi ini? Namaku sengaja diganti dengan namanya padahal semua itu adalah hasil jerih payahku! Aku mendadak mual dan segera kembali ke kamar, tak percaya dengan apa yang terjadi malam ini. Aku hanya ingin menangis di pelukan Jon saat ini.
***
Masih malam yang sama. Pintu kamar Jon diketuk dan tampak seorang gadis muda yang cantik membawa sebotol anggur untuk merayakan keberhasilannya.
“Hai, Jon, aku diundang oleh Amy untuk merayakan malam ini bersama kalian di sini,” ujar Miranda manja.
“Oh, saya tidak tahu Amy berniat merayakan malam ini dengan siapa pun,” ujar Jon setengah kebingungan. Lalu tambahnya, “Dia sendiri masih di kamarnya.”
“Bolehkah aku masuk?” Miranda berbasa-basi meminta izin sambil langsung saja menerobos masuk.
Ia menuju dapur, mengambil dua gelas anggur, memasukkan pil tidur di salah satu gelas kristal itu, lalu menuangkan isi botol yang dibawanya ke dalam kedua gelas itu. Ia dan Jon terlibat percakapan basa-basi sementara Jon sudah setengah mengantuk. Saatnya Miranda membuka baju yang dikenakan Jon.
Amy pasti akan meninggalkan Jon setelah kejadian malam ini, pikir Miranda.
Gadis culas itu mengambil telepon genggam Jon dan membuat panggilan tak terjawab ke telepon Amy dengan tujuan agar dia segera datang ke kamar Jon.
***
Aneh, mengapa Jon memutuskan panggilan teleponnya? Apakah ia tengah dalam keadaan yang tak sehat? pikirku di kamar. Aku harus ke kamarnya segera untuk melihat keadaan Jon!
Langkahku setengah berlari mengejar lift menuju lantai kamar Jon. Kudorong pintu kamar yang ternyata tak terkunci. Tak kusangka, mataku melihat Miranda tengah berbaring manja di atas dada Jon dengan hampir tak berpakaian. Aku mau menangis dan muak sekali melihat tatapan Miranda yang penuh hasrat ke arah Jon. Segera aku berlari meninggalkan kamar itu. Satu hal yang kutahu: aku harus segera pergi dari semua kegilaan ini.
Oh, kapan mimpi buruk ini akan berakhir…? batinku.
***
Sekarang, di sinilah aku berada, di kota kecil tempatku dibesarkan. Aku memutuskan bekerja sebagai editor lepas di sebuah surat kabar kecil bernama The Virginia Post. Aku bahagia berada di tengah kedua orangtuaku di rumah kami. Mungkin sudah jutaan e-mail dari Jon kuhapus pagi ini. SMS-SMS berisi permintaan maafnya pun tak aku hiraukan. Berkali-kali aku tolak telepon darinya. Aku sudah tidak mau melihat ke belakang lagi dan cincin itu pun sudah rapi kusimpan untuk dikembalikan kepada Jon melalui paket kiriman kilat.
Ting-tong, ting-tong…! Suara bel pintu rumahku terdengar berulang kali. Aku bergegas melihat siapa yang datang.
“Hai, Amy, apa kabar?” Suara manja itu membuatku terkejut.
Ya, siang tadi Miranda sengaja datang dari New York untuk menemuiku. Ia mengakui semua kebodohannya selama ini. Ia mengaku tidak pernah berniat merebut Jon dariku. Malam itu adalah salah satu drama yang sudah dipersiapkannya untuk mendepakku dari kerajaan Alexandria tersebut. Kini nama besar perusahaan itu tengah meluntur karena Alexandria sudah tidak mampu lagi membuat koleksi baju yang diminati para penikmat dunia mode.
Miranda pun menawarkan posisi menggiurkan kepadaku sebagai komisaris dan kepala pimpinan di sana menggantikan dirinya yang ingin pulang ke Prancis. Ia ingin menikah dan menjadi pengusaha restoran di sana. Aku juga kaget saat ia mengaku bahwa ia sengaja memasukkan pil tidur ke dalam minuman anggur Jon dan masuk ke kamar hotelnya tanpa diundang.
Sekarang aku menyesal setengah mati dan berusaha menemui Jon, namun sia-sia saja karena menurut teman-teman Jon, ia sudah keluar dari Alexandria dan memutuskan bekerja di luar kota.
***
Aku hanya dapat menunggu kabar yang tak pernah datang dari Jon dan ini sudah lebih dari tiga bulan lamanya. Tawaran Miranda belum sempat aku pikirkan lagi.
Tiba-tiba bel pintu yang berdering membuatku bergegas keluar dari kamar malam itu. Ibu yang sedang membaca novel kesukaannya sambil menemani ayah menonton siaran tunda pertandingan tinju di televisi tersenyum ke arahku, seakan sedang menyembunyikan sebuah rahasia kecil.
“Mengapa kalian tak membukakan pintu? Memangnya siapa yang datang?” tanyaku curiga. Namun, mereka hanya tersenyum-senyum.
Aku mengangkat bahu dengan bingung dan bergegas membuka pintu.
Aku kaget sekali. Kulihat pekarangan rumahku penuh dihiasi lampu-lampu kecil yang biasa kulihat pada hiasan pohon Natal keluargaku. Mungkin sampai ratusan jumlahnya. Terang sekali, berwarna-warni dan berkelap-kelip indah.
Lima orang pria membawa alat musik seperti akordion, gitar, dan harmonika, yang menurutku tampak sangat kampungan, dengan sigap langsung memperdengarkan harmonisasi nada-nada Love Me Tender milik Elvis Prestley yang lumayan merdu.
Lalu, seorang pria tampan mengenakan jas rapi dengan rambut pirang klimis dan senyumnya yang hangat muncul dari belakang pria-pria itu. Musik mendadak dipelankan. Pria itu mendekat sambil berlutut di hadapanku.
“Amy Hope, maukah kau menikah denganku?”
Jon, pria yang kumaksud tadi, bertanya penuh harap sambil melingkarkan sebuah cincin berlian yang sama seperti pertama kali ia melamarku di Central Park.
“Ya, aku bersedia!” jawabku dengan tangis haru.
Ia bangkit dan langsung memelukku erat-erat. Aku balas memeluknya, menumpahkan kerinduanku yang selama ini hanya bisa kupendam.
Tiba-tiba, suasana menjadi riuh rendah dengan tepuk tangan dan beberapa siulan dari orang-orang yang ternyata adalah para tetanggaku, termasuk kedua orangtuaku serta adik laki-lakiku satu-satunya, Derek. Oh, aku bahagia sekali…!
Dan, yang lebih membahagiakan adalah hadirnya seorang gadis cantik yaitu Miranda. Ia tampak berdiri tepat di samping kedua orangtuaku sambil bertepuk tangan dan berteriak kencang, “Hei, kalian berdua, aku sangat bahagia untuk kalian!” teriaknya.
Aku baru tahu kemudian, bahwa Miranda dan kedua orangtuaku sengaja merencanakan malam lamaran Jon kepadaku ini. Miranda telah bersusah-payah mencari tahu di mana Jon berada dan meminta maaf serta menceritakan semua ini agar Jon mau kembali lagi kepadaku.
***
Pagi ini, semua tampak begitu sempurna. Aku memandang ke luar jendela dari ruangan kantorku yang berada di puncak teratas gedung pencakar langit di Manhattan. Ruangan Penthouse megah ini memang ruanganku bekerja sebagai pimpinan sekaligus kepala desainer untuk rumah modeku sendiri yang berlabel AMY.
Ya, aku menolak ajakan Miranda tempo hari karena ayah Jon yang seorang konglomerat memberikan sebagian sahamnya untukku dan mertuaku itu selain sayang kepadaku juga tahu benar potensi yang ada dalam diriku. Jon tetap menggeluti pekerjaan yang ia cintai sebagai seorang fotografer. Kini, kami berdua tengah menantikan kelahiran anak kedua kami.

Aku adalah Amy Hope, si gadis pemimpi dengan setelan Gucci, yang selalu percaya ramalan bintang serta cinta sejati.

SEKIAN



Tentang Penulis:
Hendro Utomo, penulis dan motivator tunanetra ini lahir di Jakarta pada 8 Juli 1981. Gaya tulisan yang modern, lugas, dan deskriptif adalah ciri khas penulis yang lama berkecimpung di dunia media sebagai reporter dan editor, serta public relation ini. Mari berkenalan dengan Hendro Utomo melalui akun Facebook-nya: hendro.utomo1.

http://hendro81.mywapblog.com/the-fashion-jungle.xhtml