Support Hendro With Your Writings

Hendro Utomo is an Indonesian writer with glaucoma, then lost his sight because of it. Living with blindness doesn't make him giving up writing. This blog created to publish any kind of writings from Hendro Utomo and friends who love and continue to support him by sending their writings or writing for him on this blog. You can also publish your writings here to support him. How? Send your email to hendroutomo1981@gmail.com and spread these words.


Friday, September 28, 2012

BETH AND ROSE by Hendro Utomo

Beth and Rose
Hendro Utomo


GADIS cantik itu dituduh sebagai pelaku pembunuhan sadis dan diduga memiliki kepribadian ganda. Apakah memang ia pembunuhnya atau si arwah penasaran itu pelakunya? Kisah pembunuhan berantai yang tragis di sebuah kota kecil.

"Diam kau, wanita jalang!" hardikan itu terdengar dari ruang keluarga rumah kami.
"Berhentilah meminum minuman sialan itu, James, dan carilah pekerjaan di luar sana!" bentak ibuku kepada James Nowid, ayah tiriku.
Ya, begitulah cara kedua orangtuaku berkomunikasi. Tak jarang ayah tiriku melayangkan pukulan kepada ibu saat keduanya bertengkar hebat. Ibu menikah lagi setelah ayah kandungku meninggal dunia karena tidak mampu menghidupi dirinya dan dua putri kembarnya, aku dan Rose.
Awalnya, ayah tiriku memiliki pekerjaan sebagai penggali tambang emas di kota kami, New South Florida, namun ketika tambang emas tersebut ditutup sekitar setahun lalu, James terpaksa diberhentikan dari pekerjaannya dan menjadi seorang pecandu alkohol yang kerap melakukan penganiayaan terhadap ibu dan kami.
Ibu sudah berkali-kali meninta bercerai, akan tetapi James mengancam akan membunuh ibu. Sementara ibuku hanyalah seorang pelayan di sebuah restoran kecil bernama Peters Steak and Grills dengan upah yang hanya cukup untuk biaya makan dan sekolahku saja. Namaku Bethanie Fox, namun aku kerap dipanggil Beth. Sebagai gadis berusia 16 tahun, aku memiliki wajah yang lumayan manis dan ditambah postur tubuh tinggi dengan rambut pirang sebahu. Begitupun dengan Rosemary Fox, adik kembarku, yang biasa disapa Rose oleh semua orang.
Kalian pasti berpikir di mana Rose berada sekarang. Kami sangat dekat satu sama lain. Seakan Rose tahu apa yang sedang aku pikirkan dan begitupun sebaliknya. Rose memutuskan untuk pergi dari rumah ini atau lebih tepatnya kabur karena ia tidak tahan dengan perlakuan kasar yang kerap dilakukan James kepadanya. Ditambah lagi dengan perekonomian keluarga kami yang sangat sulit. Aku masih ingat hari itu tanggal 21 Juli 1995, tepat di hari ulang tahun kami. Udara di luar sangat dingin walaupun sekarang masih musim panas. Langit di luar kamarku tampak mendung dan kami berdua sedang asyik mengobrol sambil menunggu ibu pulang bekerja.
"Selamat ulang tahuuuuun!" seru ibu tiba-tiba yang masuk ke kamar kami dengan satu buah potong kue coklat dan dua buah lilin diatasnya.
"Ibuuuu!" balas aku dan Rose berhamburan menuju ke arah ibu dan memeluknya. Masih kuingat wajah ibu tampak bahagia ketika tahu kedua putri mereka telah beranjak dewasa. Ibu juga memberikan kami sepasang kalung berliontin hati sebagai hadiah ulang tahun kami. Aku tahu ibu pasti sengaja mengambil lembur seminggu penuh hanya untuk membelikan kalung ini.
Plaaak, sebuah tamparan keras menghujam mendarat di pipi Rose ketika James menampar adik kembarku hanya karena ia tidak mau mengambilkan koran pagi untuk James. Suasana di meja makan berubah menjadi tegang saat ibu berusaha membela adikku.
"Sialan kau, James. Jangan pernah berani memukul anakku!" bentak ibuku kepada James yang kurasa masih setengah sadar karena di bawah pengaruh alkohol. Aku hanya dapat memeluk adikku yang menangis, tanpa kusadari hari itu adalah hari terakhirku melihat Rose di rumah ini. Memang si pemalu Rose hanya meninggalkan sepucuk surat perpisahan di dalam lemarinya yang kosong. Dan kini, sudah hampir setahun Rose tidak ada di tengah keluarga aneh ini. Seperti hilang ditelan bumi, Rose menghilang tanpa kabar berita.

Aku dan Rose lahir dan dibesarkan di kota kecil bernama New South Florida. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya cukup berdekatan sehingga kami kenal dengan satu per satu tetangga kami, mulai Nyonya Catherine Nixon seorang janda yang hidup dengan puluhan kucingnya hingga Tuan Robert Miles dan istri serta lima anaknya yang kesemua anggota keluarganya menggunakan kacamata minus berlensa tebal. Salah satu anaknya yang bernama Lucy Miles adalah sahabatku dan Rose.
Pagi itu aku bangun agak sedikit telat dan langsung bergegas mandi untuk pergi ke sekolah. Tak ada siapa pun di meja makan saat aku mengambil sehelai roti tawar dan meneguk sedikit susu di dalam lemari es. Ibu biasanya sudah pergi bekerja pada pukul lima pagi, sementara ayah tiriku masih tertidur pulas di sofa dengan beberapa botol bir dan bungkusan keripik kentang dengan remahnya mengotori karpet di ruang keluarga kami. Aku berlari kecil menuju pagar. Mataku terpaku pada kotak surat di pagar rumah. Aku sempatkan melihat apa ada surat di dalamnya. Kutemukan sepucuk surat berwarna pink bertuliskan nama Rosemary Fox. Bukan main kagetnya diriku dan sambil berlari sambil membuka surat itu. Kubaca satu demi satu kata:

Dear Beth tercinta,
Apa kabar ibu dan dirimu? Semoga kalian baik di sana. Begitupun aku di sini. Aku sudah bahagia sekarang dan hidup bersama suamiku tercinta bernama Peter Jobs. Kami tinggal di sebuah rumah yang cukup besar peninggalan ayah Peter di kota kecil Maryland. Mungkin saat engkau baca surat ini, aku sedang berada di luar kota untuk menemani Peter menemui rekan bisnisnya untuk membahas rencana perluasan lahan perkebunan gandum milik keluarga kami. Aku bermaksud unttuk mengundangmu bermalam di rumah kami di Saint Paul Fourth Street sebelah utara kota Maryland. Aku menunggu kedatanganmu, Beth sayang.
Peluk cium,
Rosemary Fox

Ya begitulah isi surat dari Rose. Agak sedikit janggal karena biasanya Rose tak pernah lupa mencantumkan tanda tangannya di setiap akhir penutup surat. Ditambah lagi Rose pernah bilang kepadaku bahwa ia tak akan menikah sebelum membahagiakan ibu dan diriku, serta menamatkan kuliah di bidang kedokteran yang memang menjadi cita-citanya sejak kecil.

Di sekolah anak-anak melakukan pelbagai aktivitasnya sebelum bel masuk berbunyi. Tampak Alicia Hogans dan gadis populer lain yang tergabung dalam grup pemandu sorak sedang berlatih membentuk sebuah piramida yang kupikir sangat bodoh dan berisiko. Sementara para kutu buku sedang menghafal rumus kimia di taman sekolah. Seorang pemuda tampan berbadan atletis bernama Matt Dawsons tengah memarkir sepeda bututnya. Ya, Matt adalah atlet renang di sekolah kami dan aku sangat menyukai Matt sejak kami masih di bangku sekolah dasar. Aku berharap bisa menjadi pacar Matt sama dengan puluhan gadis lain di New South Florida High School.
"Beth, apa kabarmu?” tanya Lucy kepadaku ketika aku menyimpan tasku ke dalam loker.
"Aku baik saja dan aku bahagia hari ini karena tadi sekilas aku melihat Matt tersenyum ke arahku saat aku melintasi parkiran!" jawabku dengan senyum aneh yang biasa kuperlihatkan ketika aku sedang bahagia.
"Well, semoga Dewi Fortuna sedang di pihakmu, Beth, karena kudengar ia baru saja putus dari pacarnya si nona sempurna, Alicia Hogans," ujar Lucy sambil membetulkan kacamatanya yang hampir melorot.
Sore itu sambil berjalan pulang aku membaca kembali surat aneh dari Rose. Tanpa kusadari Matt berhenti di sampingku dan berjalan di sebelahku sambil menenteng sepedanya.
"Halo, Beth, sudah lama kita tak pernah pulang sekolah bareng seperti dulu," ucap Matt membuka percakapan.
"Ya tentu saja, apalagi setelah engkau sibuk menjadi atlet renang tingkat nasional," sindirku.
"Ah, biasa saja, tapi memang jujur kegiatan itu sungguh menyita waktuku," jawab Matt khas anak laki-laki yang polos dan lucu.
Bahagianya aku bisa menghabiskan sore dengan mengobrol akrab dengan Matt. Malam itu sambil menunggu kantuk datang, aku membuka fotoku bersama Rose dan ayah, serta ibu. Kalung liontin itu masih tetap kupakai sampai sekarang. Setengah mengantuk samar-samar kudengar langkah kaki berat berjalan di luar lorong kamar dan tiba-tiba sekelebatan bayangan hitam menyelinap masuk kamarku yang tak tertutup.
"Siapakah itu? Halo siapa di sana?” tanyaku setengah berteriak.
"Tolong! Beth, tolong!" teriak ibu dari arah ruang keluarga. Aku kaget mendengar suara teriakan ibu dan bergegas menuruni anak tangga.
"Oh, Tuhan," bisikku ketika melihat James tewas bersimbah darah dengan tiga tusukan benda tajam di sekujur perutnya. Pria gempal berkepala botak itu kondisinya sangat mengenaskan terbaring kaku di sofa ruang televisi.
"Apa yang telah terjadi, Bu?" tanyaku kepada ibu.
"Aku tidak tahu Beth, pagi tadi saat keluar kamar hendak membuat sarapan kulihat ayahmu sedang dalam posisi seperti ini yang kupikir ia sedang tertidur," jawab ibu dengan isak tangis.
Tak lama berselang, rumah kami penuh dengan orang-orang berseragam yang tengah menyelediki kasus pembunuhan ayah tiriku. Rumah kami pun dikelilingi garis kuning polisi dengan ribuan mata yang penasaran akan peristiwa ini. Tibalah aku dan ibu di kantor polisi yang menetapkan kami sebagai saksi kasus pembunuhan tersebut. Dua jam sudah Sersan Jason Ohara, selaku penyidik kasus menanyakan ribuan hal kepada kami. Akhirnya siang hari aku dan ibu diperbolehkan untuk pulang sambil penyelidikan kasus ini terus berjalan. Kulihat ibu masih sangat trauma dengan kejadian tadi pagi. Mayat James pun belum sempat dikebumikan karena masih sedang dilakukan proses otopsi untuk mengetahui sebab kematiannya.

Jutaan pasang mata seakan menatap aneh kepadaku ketika aku pergi ke sekolah satu minggu setelah kejadian tragis itu. Semua teman sekolahku terdengar berbisik ketika aku memasuki kelas. Kudengar Alicia Hogans berseru, "Kira-kira siapa lagi ya yang akan dibunuh olehnya dan ibunya?" Seruan tadi tentu saja diikuti derai tawa murid lain di kelas geometri ini.
Tiba-tiba tangan hangat menyentuh pundakku dan berbisik dari arah belakang "Jangan pedulikan ucapan Alicia dan aku percaya bukan engkau dan ibumu pelakunya," bisik seorang pria yang ternyata adalah Matt. Tentu saja semangat itu membuatku tersenyum semu.
Kubasuh wajah sebelum pulang di wastafel kamar kecil. Saat kulepas kalungku, Alicia masuk ke dalam salah satu bilik kamar kecil di belakangku. Langsung aku pergi meninggalkan kamar kecil untuk menghindari konfrontasi. Seeeer, suara keran wastafel terdengar.
“Hei gadis bodoh, matikan kerannya, aku sedang berbicara di telepon!" bentak Alicia. Tentu saja air tetap mengalir dan membuat Alicia naik pitam keluar dari biliknya.
Alicia tak menemukan siapa pun di sana, hanya kalung liontin milik Beth yang ketinggalan karena terburu-buru pergi. Saat Alicia memasukan kalung tersebut ke dalam tasnya, sekejap sesosok tangan meraih rambut Alicia dan menyeret gadis cantik bermata biru dan berambut pirang itu masuk ke dalam salah satu bilik toilet.
"Aduh, lepaskan, tolong, tolong!” teriak Alicia sambil meronta. Tangan itu memasukkan kepala Alicia ke dalam kloset berisi air. Blurrrrpppp…, bluuuurrrrp…. Keluar masuk kepala Alicia menuju liang lubang kloset itu hingga ia kehabisan napas dan dibiarkannya tubuh Alicia yang kaku tersungkur di lantai toilet.
Lagi-lagi, akibat barang bukti berupa kalung bernama tulisan namaku, aku harus menjawab ribuan pertanyaan Sersan Jason Ohara dan seorang psikiater muda bernama Dokter Gillian Anderson yang menduga aku memiliki kepribadian ganda. Malam aneh kembali menimpa keluarga kami.
Ucapan Rose tiba-tiba teringat kembali olehku, "Tak ada yang boleh menyakitimu, Beth, karena akulah yang akan membalaskan dendammu." Ucapan terakhir Rose itu membuatku bertekad memecahkan misteri ini dan pamit kepada ibu untuk pergi ke alamat yang tertera pada surat Rose. Syukurlah ibu memberi izin dan membekaliku sedikit uang. Tentu saja ibu berharap aku pulang dengan cepat dan selamat.

Bis yang kutumpangi berhenti di sebuah halte tua di selatan Maryland. Tepat di belakangnya terdapat sebuah kedai kopi kecil yang buka 24 jam dan kebetulan malam ini perutku sangat lapar. Kumasuki kedai itu dan hanya tampak seorang pelayan tua sedang mengelap mesin pinball dan music box yang kondisinya sudah tak karuan. Kucari meja dekat jendela yang menghadap sebuah rumah besar bergaya Victorian yang sungguh terlihat seperti rumah hantu. Pelayan tadi mendekatiku.
"Malam, Nona Rose, bagaimana dengan liburannya?" Pertanyaannya membuatku bingung karena ia pikir aku adalah Rose.
"Baik saja dan menyenangkan," jawabku berpura-pura.
"Oh ya, Anda tahu di mana alamat ini?" tanyaku kepadanya.
"Hehe, Nona bercanda, ya? Itu rumah besar di ujung jalan adalah rumah Nona," jawab sang pelayan sambil menunjuk ke luar jendela padahal aku belum menyodorkan amplop yang tertera alamat Rose kepadanya. Kuhabiskan roti isi dan secangkir kopi hitam, segera pergi sambil membayar sekitar 1 dolar dan 50 sen.
Bulu kudukku tiba-tiba berdiri ketika membuka pagar besar itu. Kuketuk pintu perlahan sebanyak 4 kali ketukan. Pintu terbuka dan aku disambut oleh seorang wanita, tua berwajah kaku dan seram.
“Pasti Nona Beth, mari masuk, kebetulan Nona Rose dan Tuan Peter sedang berlibur ke luar kota," ujar wanita tua yang mengaku bernama Maria Hansen itu.
Sungguh rumah ini sangat menyeramkan. Belum apa-apa aku sudah disambut dengan suara-suara aneh seperti langkah kaki menaiki tangga hingga suara daun pintu bergerak sama seperti yang pernah kudengar malam sebelum tewasnya ayah tiriku. Petir bersahutan disertai hujan kilat menyambar jendela kamarku yang dingin di rumah itu. Samar kudengar suara pintu gerbang dengan sesosok bayangan pria besar keluar dari gerbang itu. Aku bergidik, sesuai niat awalku aku langsung mencari tahu apa saja isi rumah tua ini. Kulihat sebuah daun pintu yang sengaja ditutup dan dihalangi oleh tumpukan benda usang. Tanpa pikir panjang aku masuk ke dalam ruangan kosong itu. Gelap, hanya ada satu buah lilin sebagai penerang.
Aneh, kulihat sebuah televisi, tumpukan kaset video dan alat perekam video lengkap dengan kabel konektor ke televisi. Aku penasaran dan langsung memutar kaset video yang sudah diberi urutan nomor dari 1 sampai dengan 4. Betapa tampannya suami Rose yang bernama Peter Jobs dan betapa bahagianya pernikahan mereka. Aku bisa melihat betapa besar rasa sayang Peter kepada Rose hingga ia rutin mengabadikan setiap kegiatan Rose melalui alat perekam video. Tapi tunggu, aku melihat gambar aneh ketika Rose berciuman dengan seorang pria berbadan kekar, bermata hijau dan berambut hitam ikal yang tentu saja bukan sosok Peter dan rupanya gambar tadi tak sengaja tertangkap kamera yang masih menyala. Video keenam lebih mencekam lagi. Peter terlihat bertengkar hebat dengan Rose.
Di pinggir pantai di bawah bulan purnama. Pria tampan berambut pirang dengan kulit putih pucat itu mendorong sang istri ke tengah laut. Tanpa memberi kesempatan kepada Rose untuk bangkit dan berusaha melakukan perlawanan sedikit pun. Samar suara Rose dalam video tersebut terdengar di antara suara deburan ombak. "Kamu salah sangka, Peter. Aku dan tukang kebun keparat itu tidak ada hubungan apa pun. Aku tidak melakukan perselingkuhan itu saat engkau sedang dinas ke luar kota," bela Rose kepada Peter. Namun, apa yang dilakukan Peter adalah memasukkan kepala Rose ke dalam air laut berulang kali hingga Rose tak bernyawa.
Gambar tiba-tiba memperlihatkan bagaimana Peter mendandani mayat Rose dengan gaun putih berenda, memakaikan Rose alat make up pada wajahnya yang pucat dan menyisir rambutnya yang pirang sebahu dengan sisir kesukaan Rose. Tak lama sesudah itu, Peter mengambil seutas tali yang digantungkannya pada langit-langit kamar. Oh, Tuhan. Peter berusaha naik kursi dengan tali melingkari lehernya untuk bunuh diri. Aku kaget ketika gambar memperlihatkan seorang wanita tua yang kukenal memasuki kamar untuk menggagalkan percobaan bunuh diri itu.
"Dasar anak bodoh! Apa yang sedang engkau lakukan? Aku sudah peringatkan dulu agar jangan pernah menikahi gadis sialan itu. Biarkan saja ia mati dan lanjutkanlah hidupmu dengan menikahi gadis lain!" bentak wanita tua itu yang ternyata adalah Maria Hansen yang juga tak lain adalah ibu Peter Jobs. Pasti wanita tua itu memakai nama samaran untuk semua sandiwara ini.

Aku sudah menebak semua ini ada hubungannya dengan semua pembunuhan berantai itu. Mungkinkah Peter Jobs menderita kelainan jiwa dan teramat sangat posesif akan sosok Rose yang sudah tiada sehingga ia menganggap aku adalah istri yang ia cintai? Petir menyambar diiringi dengan suara pintu pagar di bawah sana. Tampak sesosok pria besar berjalan memasuki rumah di bawah hujan nan deras.
Oh Tuhan, aku harus segera pergi dari rumah ini. Aku berlari cepat menuju kamarku dan langsung mengunci pintu kamar. Fiuuuuh, aku menghela napas panjang dan berpikir bagaimana agar bisa keluar dari rumah ini atau mencari pertolongan. Aku meraih telepon tua di sisi ranjang namun sial, ada seseorang yang memotong kabel telepon itu. Aku langsung meraih tas ranselku dan pergi menuju jendela untuk kabur.
"Sialan, jendela ini pun terkunci dari luar!" umpatku setengah putus asa karena ketakutan. Jalan satu-satunya aku harus menyelinap keluar rumah. Ternyata bayangan sosok besar yang kerap mengikutiku bukanlah hantu atau arwah penasaran dan itu adalah Peter yang mengikuti dan mengawasiku sejak lama.
Aku menuruni tangga perlahan berusaha berjalan dalam kegelapan menuju pintu keluar di ujung lorong rumah tua ini. Lantai berderik saat aku berjinjit perlahan.
"Mau pergi ke mana, Rose Sayangku?" Suara berat seorang laki-laki tepat di belakang pundakku.
Sontak aku menjerit, "Aaaahhh!"
Seakan tak ingin aku pergi, tangan besar itu menangkap tubuhku dan membopong tubuhku menuju ruang makan. Aku memberontak tapi cengkeraman tangan Peter semakin kuat saja menyeretku yang terjatuh ke lantai. Monster gila itu menjambak rambutku dan menarik serta menyeretku ke ruang makan. Di sana sudah ada Maria Hansen sedang menyiapkan makan malam dengan meja makan yang sudah tertata rapi lengkap dengan lilin serta peralatan makan untuk dua orang. Musik Jingle Bell Blues milik Elvis Prestley terdengar mengiringi makan malam romantis itu.
"Silakan duduk, Nona," perintah Maria Hansen kepadaku.
Tanpa basa-basi, Peter merobek bajuku dan menggantinya dengan sebuah gaun putih berenda. Sesaat kemudian Peter mulai merias wajahku sehingga tampak cantik di hadapannya.
"Nah, sekarang hanya kita berdua, Rose, dan kita akan menghabiskan malam ini dengan makan malam romantis seperti dulu," ujar Peter kepadaku. Aku hampir ingin menangis ketakutan berada di dalam rumah sinting ini.
Tuuuuuuuuut… Suara teko pemanas di atas kompor berbunyi. "Tunggu sebentar, Rose, aku akan mematikan kompor," bisik Peter sambil tersenyum manis.
Inilah kesempatanku untuk kabur, pikirku dalam hati. Kuraih senapan angin yang tergeletak di meja sebagai alat pelindung, Peter kaget melihatku berusaha melarikan diri. Langsung kupukul wajahnya dengan senjata itu dan tepat mengenai pelipisnya. "Enyahlah kau, laki-laki biadab!" teriakku sambil pergi berlari meninggalkan Peter yang tersungkur ke lantai karena kesakitan.
Jantungku berdegup kencang saat berlari menuju pintu. Namun pintu terkunci dan tanpa pikir panjang aku berlari menuju loteng dan berusaha memecahkan kaca jendela besar di ujung lorong.
"Mau ke mana istriku yang cantik?" ujar Peter yang berusaha mencegahku kabur. Ia mendekat dan semakin dekat.
Tiba-tiba sesosok bayangan putih mirip diriku muncul tepat di depan Peter dan mendekati pria itu dengan mata melotot seakan menyimpan dendam kepada Peter.
"Ampun, Rose, aku tidak sengaja melakukan ini," ujar Peter terbata-bata setengah ketakutan. Peter berjalan mundur menuju jendela besar untuk menghindari kejaran arwah Rose.
Tanpa membuang waktu, aku langsung mendorong tubuh Peter ke arah jendela. "Pergilah kau ke neraka!" teriakku sambil mendorong tubuhnya hingga memecahkan kaca jendela. Tubuh Peter terempas jatuh ke tanah hingga mungkin tak sadarkan diri. Aku menghela napas lega dan sosok menyeramkan itu berubah menjadi gadis cantik dengan wajah seperti mirip denganku. Sambil tersenyum ke arahku, sosok Rose menghilang di ujung tembok.

Kisah ini berakhir dengan penuh haru. Mayat Rose dikebumikan dengan layak dekat pemakaman umum bersebelahan dengan ayah kandung kami. Matt kini sudah menjadi suamiku dan kami sudah memiliki tiga orang anak yang tampan. Sementara ibu mengabdikan masa tuanya dengan menjadi tenaga sukarela di panti jompo dekat lingkungan rumah kami. Sampai sekarang aku masih bisa merasakan kehadiran saudara kembarku itu. Terakhir kali saat kami sekeluarga pergi berjalan-jalan ke luar kota dan melewati rumah tua itu di tengah malam perjalanan pulang, kulihat tiga sosok di jendela besar itu sosok wanita tua seperti Maria Hansen, tepat di sebelahnya berdiri sosok pria bertubuh besar dan sosok gadis cantik bergaun putih itu. Mereka seakan melambaikan tangan mereka ke arahku. Mungkin mereka bertiga memang menjadi penunggu rumah tua itu.
Baiklah, jika kalian tak sengaja melewati rumah itu dan ada sesosok yang melambaikan tangan ke arah kalian, tolong titipkan salamku kepada Rose.

SEKIAN



Tentang penulis:
Pria berusia 32 tahun yang lahir di Jakarta, pada 8 Juli 1981 ini mulai mencintai dunia kepenulisan sejak bekerja sebagai editor di pelbagai media cetak. Penulis tunanetra ini menyukai gaya tulisan yang deskriptif dan lugas.
Nama: Hendro Utomo
HP: 085890548008/021-87796943
FB: hendro.utomo1

http://hendro81.mywapblog.com/beth-and-rose-by-hendro-utomo.xhtml

1 comment:

  1. sedang mencari artikel sob,izin copas sebagai referensi, terima kasih telah berbagi,

    ReplyDelete