Support Hendro With Your Writings

Hendro Utomo is an Indonesian writer with glaucoma, then lost his sight because of it. Living with blindness doesn't make him giving up writing. This blog created to publish any kind of writings from Hendro Utomo and friends who love and continue to support him by sending their writings or writing for him on this blog. You can also publish your writings here to support him. How? Send your email to hendroutomo1981@gmail.com and spread these words.


Sunday, September 30, 2012

THEY

THEY
Oleh Hendro Utomo


BENARKAH mereka ada? Dari manakah datangnya suara-suara itu? Langkah kaki itu selalu terdengar di dalam rumahku sendiri. Aku harus mengusir mereka pergi dari tempat ini segera!


Manchester, Desember 1975

Tak ada yang aneh terlihat dari rumah di atas bukit di Jalan Saint Marry itu. Bangunan tua yang terletak di sebelah utara kota kecil Manchester tersebut memang tampak sedikit tak terawat lagi. Sudah puluhan keluarga datang dan pergi silih berganti hanya dalam waktu kurang dari satu tahun.
Rumah itu dibangun sekitar abad ke-19 oleh Sir James Edward, seorang tuan tanah kaya-raya yang memiliki banyak tanah dan perkebunan. Rumah bergaya Victoria berlantai dua itu memiliki dua buah pilar besar di kedua sisi pintu masuknya dan sebuah pagar tinggi berinisialkan nama dirinya.
Sir James Edward mempunyai seorang istri dan tiga orang anak yang usianya masing-masing masih di bawah 10 tahun. Naas bagi mereka, belum genap lima tahun menikmati tinggal di rumah tersebut, sekawanan perampok mencuri serta membunuh semua anggota keluarga itu secara keji.
Setelah bertahun lamanya, rumah tersebut akhirnya dibeli dan ditempati oleh sebuah keluarga imigran kaya yang berasal dari Portugis. Namun, tak berapa lama kemudian terdengar kabar, keluarga itu pun memutuskan untuk pergi dari rumah itu dan menjualnya. Tak ada kabar pasti mengenai apa alasan mereka pindah. Begitu pun puluhan keluarga lain yang menempatinya, tak ada yang tinggal lama di sana. Kini Anda dapat melihat betapa kokohnya rumah itu berdiri dengan papan di depan pagar bertuliskan: “DIJUAL”.
***
David Miller dan istrinya, Margareth Miller, beserta kedua anak mereka, tampak bahagia menikmati suasana malam yang dingin di depan perapian di ruang keluarga rumah mereka. Elizabeth Miller dan Christoper Miller adalah nama anak-anak mereka.
David seorang pengusaha mebel yang bertubuh jangkung dengan rambut hitam sedikit ikal. Sementara, Margareth hanyalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang berwajah cantik, berpostur kurus, dan berambut pirang berombak. Elizabeth merupakan anak tertua, berusia sekitar tujuh tahun, dengan tubuh kurus sama seperti ibunya, dan memiliki raut wajah yang selalu tampak muram. Adiknya, Christoper, seorang anak laki-laki berumur lima tahun yang bertubuh gempal dan sangat aktif dan lincah.
Mereka adalah sebuah keluarga kecil yang sangat bahagia. Elizabeth dan Christoper pun bersekolah di sebuah sekolah dasar yang cukup terkenal tak jauh dari permukiman mereka. Kantor David berada di pusat Kota London yang harus ditempuh dengan perjalanan lebih dari satu jam.
Awalnya, David keberatan membeli rumah di Jalan Saint Marry tersebut karena ia merasa rumah itu sangat jauh dari pusat kota dan kantornya. Namun, sang istri bersikeras untuk tetap membeli dan menempati rumah itu. Selain harganya yang sangat murah, pemandangan alam sekitar rumah itu juga sangat mengagumkan, yaitu berhadapan dengan pantai pesisir sehingga menambah kesejukan serta estetika untuk sebuah rumah tinggal.
Selain pasangan suami-istri itu dan kedua anak mereka, rumah itu pun ditempati sepasang suami istri yang bekerja sebagai tukang kebun dan pembantu rumah tangga yang mengurusi segala keperluan keluarga Miller tersebut. Mereka adalah Joseph Cardigans dan istrinya yang bernama Sophie Cardigans. Usia mereka tidak lagi muda, sekitar 40 atau 50 tahunan. Tadinya mereka hanya penduduk yang tinggal di dekat permukiman itu. David sengaja membuatkan sebuah rumah mungil tepat di belakang rumah mereka sebagai rasa terima kasih David atas jasa dan pengabdian mereka terhadap ia dan keluarganya.
Keluarga Miller ini bisa dibilang hampir tidak pernah bersinggungan dengan penduduk lain di sekitar rumah mereka. Selain sifat keluarga ini memang amat tertutup, jarak rumah itu dengan rumah lainnya juga cukup jauh.
***
Suatu ketika, David terpaksa tinggal di pusat Kota London untuk waktu yang cukup lama karena ada beberapa toko mebel yang baru dibukanya di sana, yang tentunya harus mendapat pengawasan ekstraketat agar tidak merugi.
“Sayangku, aku tahu ini keputusan berat, tapi jangan khawatir, aku akan pulang setiap akhir pekan untuk menengokmu dan anak-anak. Oh ya, kalian pun bisa berkunjung kapan saja kalian mau,” ujar David kepada Margareth malam itu.
“Ya, tentu saja, Sayang, aku dan anak-anak akan senang sekali bisa berjalan-jalan ke pusat kota,” timpal Margareth sambil memasukkan beberapa potong baju ke dalam koper David.
Sayang sekali, David mengalami kerugian karena dua tokonya bangkrut sehingga ia belum bisa pulang untuk berkumpul lagi dengan keluarganya tercinta. Hubungan mereka berjalan biasa saja walau sudah hampir dua tahun hidup terpisah. Margareth pun enggan pindah untuk tinggal dengan David di kota. Padahal, sudah banyak orang yang bersedia mengontrak rumah mereka.
***
Kota London digemparkan dengan datangnya wabah penyakit menular yaitu TBC yang terjadi secara tiba-tiba. Wabah ini menyebabkan ratusan warga Inggris meninggal akibat gangguan saluran pernapasan akut.
Margareth termasuk seorang ibu yang amat cekatan dan telaten menjaga anak-anaknya. Wanita cantik ini terkenal sangat disiplin dan selalu menjaga kebersihan rumahnya. Pola asuhnya yang kaku dan sedikit diktator mungkin dikarenakan Margareth pada dasarnya selalu khawatir dan cemas dengan perkembangan anak-anaknya. Tak jarang seluruh tirai jendela ia tutup di siang hari agar anak-anaknya tidak menghirup udara kotor.
Yang agak aneh, ia rela mengeluarkan Elizabeth dan Christoper dari sekolah mereka karena takut mereka terjerumus ke dalam pergaulan yang salah. Ia lebih suka memanggil guru privat atau turun tangan mengajar anak-anaknya sendiri di rumah.
***
“Nyonya Margareth, makan malam sudah siap,” lapor Sophie kepada Margareth saat ia tengah asyik menulis surat kepada David, suaminya, di ruang perpustakaan.
“Baiklah, Sophie, tolong panggil anak-anak untuk segera turun dan makan malam,” ujar Margareth dengan anggun.
Di meja makan, Margareth berkata kepada putrinya, “Elizabeth, jangan lupa nanti sikat gigimu sebelum tidur. Dan kau, Christoper, jangan keluar rumah bermain ayunan karena cuaca sedang mendung!”
“Tapi, Bu, aku hanya ingin bermain ayunan sebentar di halaman,” rengek Christoper dengan nada merajuk.
“Jangan pernah bantah kata-kata ibumu, Nak!” bentak Margareth tanpa ekspresi kepada Christoper.
“Oh ya, Shopie, apakah kau pernah mendengar suara langkah kaki di sekitar rumah?” tanya Margareth penuh selidik. “Sudah dua minggu terakhir ini aku sering dikejutkan oleh suara-suara aneh, mulai dari dapur hingga ruang perpustakaan,” lanjutnya.
“Ti…, tidak pernah, Nyonya,” jawab Sophie terbata-bata, seperti tengah menyembunyikan sesuatu. “Semua pintu selalu saya kunci rapat. Jendela tak pernah saya buka, dan pagar selalu digembok seperti yang Nyonya perintahkan kepada kami….”
Saat itu, terdengar bunyi duk, duk, duk, seperti ada langkah anak-anak kecil berlari, namun suara itu menghilang di ujung lorong.
“Ibu, suara siapakah tadi?” tanya Elizabeth dengan sedikit bergidik.
“Ibu tidak tahu, tapi sudah beberapa hari ini Ibu juga mendengar seperti ada seseorang lain di rumah kita,” tukas Margareth.
“Oh, ya, tolong sampaikan kepada suamimu untuk memeriksa setiap sudut ruangan dan berjaga-jaga di dalam rumah karena aku tak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada anak-anakku,” perintah Margareth kepada Sophie yang diikuti anggukan kepala wanita pelayan itu.
Suasana makan malam menjadi lebih mencekam ketika terdengar suara nyanyian memilukan yang datang dari ruang perpustakaan yang tepat bersebelahan dengan ruang makan. Bulu kuduk mereka berdiri.
“Ayo cepat, habiskan makanan kalian dan langsung masuk ke dalam kamar,” bisik Margareth penuh kecemasan.
***
“Ibu…, aku kangen Ayah….” Christoper berkata keesokan harinya, saat ia dan kakaknya tengah belajar bersama ibu mereka.
“Ya, Sayang, sebentar lagi ayahmu pulang dan kita akan berkumpul bersama,” bisik Margareth sambil membelai rambut pirang Christoper.
“Ibu bohong! Ayah bahkan tidak pernah membalas semua surat yang Ibu kirim!” teriak Elizabeth.
“Siapa yang mengatakan itu kepadamu?” selidik Margareth dengan sedikit emosi, menanggapi sikap kritis putri sulungnya itu.
“Aku tidak pernah melihat tukang pos datang membawa surat untuk kita ke rumah ini lagi,” ujar Elizabeth.
“Mungkin ayahmu di sana sedang sibuk, Sayang. Ibu berjanji akan mengajak kalian berkunjung ke tempat Ayah suatu hari nanti,” janji Margareth kepada kedua anaknya.
***
Praaang…! Sebuah gelas kristal jatuh tersenggol Margareth saat ia tengah membersihkan debu di ruang keluarganya.
“Siapa kamu?” tanya Margareth kepada sesosok gadis kecil bergaun putih dengan sebuah boneka di tangan kirinya.
Gadis itu tengah berdiri di pintu masuk ruang keluarga dengan tatapan penuh tanya ke arah Margareth. Dihampirinya gadis kecil itu namun sosok itu tampak takut dan berlari, lalu menghilang di ujung lorong koridor rumah yang gelap.
Malam itu, lagi-lagi Margareth dikejutkan tiga sosok pria berjubah pastor yang berjalan mengelilingi rumahnya dan mereka menghilang masuk ke dalam kamar Christoper. Di sana Christoper tampak ketakutan dengan penampakan tiga sosok pria berjubah pastor itu. Ia bersembunyi di bawah tempat tidurnya sambil menahan napas.
“Ayo, Anakku, jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian asal kalian mau pergi dari rumah ini,” ujar salah satu pria yang berwajah pucat itu.
Pintu kamar terbuka tanpa ada seseorang yang membukanya. Christoper keluar dari persembunyiannya dan langsung berlari menemui ibunya.
Begitulah, peristiwa demi peristiwa aneh kerap dialami Margareth serta kedua anaknya.
***
Pagi itu, Margareth berniat memetik jagung di ladang jagung milik keluarganya, yang terletak tepat di belakang rumahnya. Ladang jagung itu amat subur karena dirawat dengan baik oleh Joseph. Di pinggir ladang, berdiri sebuah rumah mungil tempat Joseph dan Sophie tinggal. Dengan menenteng keranjang rotan Margareth berjalan menuju ladang dan melewati gubuk Joseph yang pintunya terbuka. Maksud hati ia ingin memberi tahu Joseph bahwa atap rumahnya bocor dan perlu segera diperbaiki.
“Joseph, di mana kau? Halo, adakah orang di dalam?” tanya Margareth.
Begitu masuk ke gubuk itu, ia terkejut melihat seluruh perabotan rumah tertutup kain putih, seakan tempat itu sudah lama tak berpenghuni. Padahal, hampir setiap hari pasangan Cardigans tersebut bekerja di rumahnya. Ia berjalan ke sebuah lemari dan menemukan sekotak besar perhiasan milik Sophie. Ia membuka kotak itu perlahan untuk melihat isinya, dan ia langsung kaget melihat beberapa lembar foto hitam-putih dan sehelai surat dengan tulisan tangan David, suaminya, yang sengaja dialamatkan untuk Joseph.

Mild Street Seventh Avenue, 20 Juli 1976

Joseph Cardigans yang terhormat,

Apa kabarmu dan istrimu Sophie di sana? Aku dan keluarga baruku di sini baik-baik saja. Oh, ya, bagaimana, apakah sudah ada kabar lagi tentang orang yang berniat membeli atau menyewa rumahku? Sejak lama aku berniat menjual rumahku itu karena banyak kenangan yang tak bisa kulupakan di rumah itu. Aku berikan alamat rumahku dan tolong kabari aku jika sudah ada pembeli yang berminat. Terima kasih.

David Miller

Margareth kaget setengah mati membaca surat suaminya itu. Pikirannya kalut dengan sejuta tanya di benaknya. Ada apa di balik semua ini? Dengan kemarahan yang setengah mati ditahannya, ia pun membongkar kotak perhiasan itu dengan kasar. Diperhatikannya lembar-lembar foto hitam-putih itu. Apa yang dilihatnya dalam foto-foto itu benar-benar membuatnya shock. Tampak beberapa gambar kedua buah hatinya yang tengah terbaring kaku di atas tempat tidur, mengenakan pakaian yang sangat bagus. Christoper mengenakan setelan jas hitam, sementara Elizabeth memakai gaun putih berenda dengan wajah pucat tertutup riasan wajah dan rambut tersisir rapi. Keduanya seperti tengah tertidur pulas, namun kulit mereka amat pucat dengan rona bibir kebiruan.
Di salah satu foto, tampak seorang wanita yang sangat pucat, juga terbaring dengan pakaian indah, di dalam sebuah peti. Wajah wanita itu sangat mirip dirinya!
Secepat kilat Margareth berlari mencari Joseph di belakang rumah lelaki tua itu untuk meminta penjelasan. Namun, bukan Joseph yang ia temukan, melainkan setumpuk semak belukar yang tampaknya sengaja diletakkan untuk menutupi sesuatu. Margareth mulai menerobos ke dalam semak untuk mencari tahu benda besar apa yang ada di belakang semak itu.
Oh, Tuhan…! bisik Margareth tertahan, ketika dilihatnya ada tiga buah kubur dengan batu nisannya yang sudah hampir roboh, dengan tulisan yang tidak jelas terbaca. Samar-samar ia melihat tulisan Miller di salah satu batu nisan tersebut.
“Ibu…! Tolong…!”
Saat itu juga terdengar olehnya suara Elizabeth meminta tolong dari dalam rumah. Margareth segera berlari ke arah rumah dan mampir di gubuk kecil Joseph untuk mengambil senapan angin yang biasa dibawa Joseph saat berjaga malam.
Suasana rumah tampak terang-benderang dengan seluruh pintu terbuka dan tirai jendela yang juga tersingkap sehingga sinar matahari memenuhi seluruh rumah yang biasanya gelap karena selalu tertutup itu. Margareth menemukan kedua anaknya tengah bersembunyi di dalam kamar mereka sambil menangis.
“Ibu, aku melihat hantu di ruang perpustakaan. Mereka jumlahnya sangat banyak dan ada sesosok hantu berjubah aneh mengusir kami dari rumah kita ini,” ujar Christoper sambil tak berhenti menangis.
“Kalian tetap di sini. Ibu akan melihat ke ruang perpustakaan dan mengusir mereka semua!” Margareth menenangkan kedua anaknya.
Prak, prok, prak, prok. Margareth melangkah setengah berlari dengan degup jantung berdebar, menuju ruang perpustakaan. Kedua tangannya memegang erat senapan angin yang diambilnya dari gubuk Joseph. Didobraknya pintu kayu perpustakaan dengan kencang. Matanya melotot marah melihat sekumpulan orang tengah duduk di sebuah meja bundar. Ada dua wanita dan tiga pria duduk melingkar dengan salah satu pria berkomat-kamit sambil membagikan kartu tarot.
Kontan saja Margareth berteriak histeris, “Apa yang kalian perbuat di rumahku?! Pergi segera dari sini!!!”
Amarah Margareth sudah tak tak terbendung lagi. Ia mengambil tumpukan kartu tarot yang ada di atas meja dan menghamburkannya ke udara. Cermin besar di sisi ruangan memantulkan bayangan lima orang tadi beserta kartu tarot yang beterbangan di udara. Namun, tak tampak pantulan bayangan Margareth di sana.
“Hantu itu tengah marah. Lebih baik kita sudahi dulu ritual pengusiran hantu ini besok pagi. Mungkin aku akan melakukan ritual komunikasi dengan mereka agar mereka pergi dari rumah yang akan kalian beli ini,” ujar seorang pria berjubah hitam kepada empat orang lainnya di ruangan itu.
***
Aku Margareth Miller. Aku dan kedua anakku adalah penunggu rumah ini. Wabah penyakit TBC menyerang kami dan merenggut nyawaku serta kedua anakku puluhan tahun lalu. Setelah kami meninggal, suamiku, David, menikah lagi dan hidup bahagia di kota lain bersama keluarga barunya hingga saat ini. Jasad kami mungkin telah mati, tetapi jiwa kami yang melingkupi rumah ini tidak akan mati.
Aku melihat seorang gadis kecil menaiki sebuah mobil van besar bersama kedua orangtuanya yang tampak ketakutan. Mobil yang penuh berisi perabot rumah itu meninggalkan rumah kami dengan tergesa-gesa.
Aku dan kedua anakku tersenyum bahagia dari balik jendela rumah. Sementara, papan bertuliskan kata: “DIJUAL” tetap berdiri kokoh di depan pintu pagar.
“Ayo, siapa yang berani membeli rumah ini?” bisikku.

SEKIAN


Tentang Penulis:
Hendro Utomo, seorang penulis tunanetra kelahiran Jakarta, 8 Juli 1981. Mulai menyukai dunia sastra sejak pertama kali bekerja sebagai editor di sebuah media cetak. Gaya bahasa yang lugas dan deskriptif adalah ciri khas tulisan pria yang menyukai genre thriller dan metropop ini. Tunggu karya lainnya dari Hendro Utomo.

http://hendro81.mywapblog.com/they-by-hendro-utomo.xhtml

No comments:

Post a Comment