Support Hendro With Your Writings

Hendro Utomo is an Indonesian writer with glaucoma, then lost his sight because of it. Living with blindness doesn't make him giving up writing. This blog created to publish any kind of writings from Hendro Utomo and friends who love and continue to support him by sending their writings or writing for him on this blog. You can also publish your writings here to support him. How? Send your email to hendroutomo1981@gmail.com and spread these words.


Monday, October 1, 2012

The Fashion Jungle


    Posted by Hendro Utomo on 01:27 PM, 02-Sep-12
THE FASHION JUNGLE
by Hendro Utomo


MANOLO, Prada, Gucci dan nama lainnya itu selalu mengelilingi hidupku. Sebuah catatan di balik gemerlapnya panggung runway, rumah mode, serta surga para supermodel yang dipenuhi intrik, cinta, dan persaingan, demi sebuah popularitas.

“Action!” teriakan sang editor mode Vogue, majalah fashion ternama, itu terdengar lantang dan bersemangat. Musik bertempo cepat mengalun sebagai latar belakang pemotretan halaman mode untuk edisi musim gugur kali ini. Indahnya Laut Mediterania di utara Yunani menjadi lokasi foto bertema “The Bold and Beautiful” itu. Lima orang model cantik yang berasal dari Brazil dan Venezuela dengan anggun mengenakan gaun rancangan Amy Hope dari rumah mode ternama bernama Alexandria yang berlokasi di Fifth Avenue, tepat di pusat Kota New York yang seakan tak pernah tidur dan kerap memberikan banyak keindahan, apalagi bagi para pencinta mode dunia.
***
Aku berjalan di atas trotoar di mana berjejer butik-butik ternama seperti Alexander McQueen, Hermes, dan beberapa nama besar lain, saat aku berjalan menuju kantorku di pagi yang cerah itu. Dengan menenteng segelas kopi panas yang sempat kubeli tadi, aku melangkah penuh percaya diri dengan mengenakan setelan dari Dolce Gabbana dan tak lupa sepasang sepatu bertumit tinggi sekitar 10 sentimeter bermerek Jimmy Choo.
“Selamat pagi, Nona Hope,” sapa ramah seorang petugas keamanan di kantorku yang biasa kusapa dengan sebutan Ricky, laki-laki bertubuh tegap berdarah Latin, ketika aku melangkah memasuki kantorku.
“Pagi juga, Ricky, bagaimana akhir pekanmu?” tanyaku dengan senyuman paling manis.
“Semua berjalan baik, Nona. Semoga harimu menyenangkan,” ujar Ricky sambil membukakan pintu untukku dengan sopan.
Namaku Amy Hope, dan aku biasa dipanggil Amy oleh semua orang yang mengenalku. Aku baru saja merayakan ulang tahunku yang ke-31 tahun bulan Juli lalu. Aku dilahirkan di West Virginia, sebuah kota kecil di salah satu negara bagian Amerika Serikat. Aku mencintai semua hal yang gemerlap dan mahal seperti setelan Gucci, dan tentu saja sama seperti semua gadis, aku pun tergila-gila serta percaya ramalan bintang. Tak heran aku bisa membeli semua majalah dan koran hanya untuk mengintip peruntunganku dan asmaraku hari ini. Sahabatku di kantor, yaitu Robert Duvall, sampai detik ini tak percaya aku bisa memiliki hobi gila tersebut.
Aku lulusan sekolah mode di Manhattan dan ini tahun keduaku bekerja di rumah mode ternama Alexandria sebagai perancang busana untuk label tersebut. Oh, ya, rumah mode yang sudah ada sejak puluhan tahun itu dimiliki oleh seorang janda tua keturunan Prancis yang sangat cantik bernama Viviene Fox, yang dikenal sangat bertangan dingin dan memiliki selera tinggi di dunia mode. Syukurlah Viviene sangat menyukai semua rancanganku yang sangat mahal dan sophisticated. Namun, sayang, Viviene akan menjual sahamnya kepada sebuah rumah mode dari Paris dalam waktu dekat ini dikarenakan ia memutuskan untuk pensiun dan pulang ke kampung halamannya di Prancis.
***
Sambil membalas semua email masuk, aku asyik membaca beberapa harian surat kabar seperti The New York Post untuk melihat betapa suksesnya pagelaran busana koleksi musim semi dari label Haute Couture rumah mode Chanel di Milan beberapa hari lalu. Saat itu aku pun hadir sebagai tamu undangan.
“Pagi, Amy, aku baru saja melihat hasil rancangan barumu tadi di Fashion TV dan kupikir kamu akan memenangkan posisi sebagai kepala desain di kantor kita,” ujar Robert saat makan siang.
Robert adalah seorang pria gay yang bekerja di divisi berbeda yaitu sebagai koordinator mode. Ia menjadi sahabatku sejak pertama kali aku diterima bekerja di sini.
“Robert, aku dengar anak Viviene yang baru lulus sekolah mode di Inggris akan bergabung dengan kita,” ujarku. “Maksudmu, si gadis jalang yang bernama Miranda Fox itu, ya?” selidik Robert.
Miranda adalah anak satu-satunya Viviene dari suami pertamanya. Gadis manja itu dikenal sangat culas dan ingin menguasai kerajaan rumah mode Alexandria. Gadis cantik berusia 21 tahun tersebut sebenarnya tidak menguasai rancangan busana. Ia hanya terpaksa mengikuti jejak sang ibu.
“Amy, coba lihat hasil fotoku di Dubai minggu lalu,” ujar Jonathan Nixon, fotografer senior yang usianya masih sangat muda.
“Baiklah, aku akan mampir nanti ke ruanganmu sebelum pulang. Oh, terima kasih, Jon, untuk hadiah ulang tahun darimu. Sebenarnya kau tidak perlu repot untukku,” ujarku sambil membuka iPad-ku untuk melihat pesan masuk.
“Oh, tak apa, aku senang melakukannya. Oh, ya, Amy, apa besok malam kau ada acara?” tanya Jon dengan malu-malu.
“Well, aku belum tahu. Memangnya ada apa, Jon?” tanyaku.
“Aku mau mengajak kau makan malam jika kau tidak keberatan,” jawab Jon.
“Oke, aku akan mengabarimu nanti malam. Oh, ya, Jon, aku harus pergi dulu untuk bertemu para buyer, para pemborong dari beberapa department store, yang akan membeli pakaian label kita,” pamitku sambil setengah berlari ke luar ruanganku karena memang aku takut terlambat.
Sepanjang perjalanan, di dalam mobil aku teringat wajah Jon yang tampan, saat tadi ia mengajakku untuk pergi makan malam besok. Jujur, sejak lama aku sudah mengagumi Jon karena ia sangat ramah dan pekerja keras. Pria bermata hijau itu adalah seorang duda yang kehilangan istrinya saat tengah melahirkan anak pertama mereka sekitar tujuh tahun lalu dan tampaknya ia menutup hati untuk kembali berhubungan dengan wanita lain sejak kejadian itu.
Andaikan aku bisa menjadi kekasihnya, batinku sambil tersenyum simpul.
***
Pagi itu bagaikan neraka. Belum genap satu minggu ia masuk, Miranda sudah mempermalukanku di rapat barusan. Si gadis jalang itu menyebut rancangan musim gugurku sebagai jiplakan sempurna karya Valentino. Ia tampaknya sudah mengibarkan bendera perang denganku.
Sementara itu, aku dan Jon sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Kehadiran Jon membuat hidupku sempurna. Jon pria yang sama sekali tidak romantis dan cuek. Namun, ia mencintaiku dengan gayanya yang apa adanya itu.
Aku bahagia mengingat malam itu. Sepulang kerja, kami makan malam. Setelah itu, Jon mengajakku berjalan-jalan sebentar di taman kota New York, Central Park, tepat di malam hari tak berbintang itu. Jon membelikanku sekotak popcorn rasa karamel kesukaanku di pinggir jalan menuju taman. Sambil tersenyum tanpa berkata sepatah kata pun, Jon menatap hangat mataku saat aku memakan popcorn seperti anak kecil. Aku tak henti-hentinya berbicara dengan mulut penuh popcorn. Mataku terbelalak saat jariku menyentuh sebuah benda asing di dalam kotak popcorn-ku. Sebuah cincin berlian berada di antara butiran jagung itu.
“Apa ini, Jon?” tanyaku masih tak percaya.
Sambil memasangkan cincin berlian itu, Jon berkata, “Amy Hope, maukah kau menjadi istriku dan ibu bagi anak-anak kita kelak?”
Ah, Jon melamarku!
Tak terasa air mata jatuh di pipiku dan aku langsung menjawab dengan lantang, “Ya, aku bersedia!”
Jon mencium tanganku dan memelukku di tengah puluhan burung dara yang beterbangan di tengah taman kota. Kami berciuman dan tanpa terasa gerimis jatuh saat bibir kami bertautan. Jon meraih tanganku dan mengajakku berlari menghindari hujan dan kami berlari sambil tertawa-tawa seperti dua anak kecil malam itu.
***
“Apa yang kamu lakukan dengan para undangan itu, Miranda?” tanyaku dengan kesal dan marah kepada si anak manja pagi itu. Kulabrak dia di ruangan kantornya yang megah dan berukuran tiga kali lebih besar daripada ruangan kantorku.
Dengan jawaban polos Miranda berujar, “Aku hanya mengirimkan e-mail pengunduran jadwal showcase koleksi barumu kepada para media dan buyer.”
Hampir saja aku menerkamnya saat ia berada tepat di hadapanku dan menusuknya dengan ujung tumit sepatu Prada-ku. Ya, Miranda membatalkan jadwal pagelaran busana kecil untuk para media dan buyer yang sangat penting bagi kelangsungan perusahaan ini hanya gara-gara ia telah membuat janji dengan dokter bedah kulitnya untuk jadwal suntik botox dan face lift wajahnya agar tampak kencang dan awet muda!
“Kamu tenang saja, karena aku akan membereskan masalah ini. Sampai ketemu di ruang meeting dan jangan telat,” ujar Miranda sambil pergi.
Rrrrggghhh…! Aku geram dengan sikapnya yang tak tahu aturan itu.
Pagi itu Viviene akan memilih salah satu rancangan terbaik kami untuk koleksi besar musim panas tahun depan dan rencananya koleksi itu akan dijual ke seluruh penjuru dunia. Tentu saja aku sudah menyiapkan tema tentang gaun-gaun berbahan lace yang sangat anggun dan mahal yang kusebut sebagai “The Summer of Lace” untuk tema kali ini.
Miranda mengambil giliran pertama presentasi kepada semua divisi di kantor kami. Dengan bangga ia menjelaskan konsep rancangannya yang bertema “Summer Paradise”, yang menggabungkan bahan ringan dan warna berani sebagai koleksi andalannya. Aku kaget setengah mati mendengar idenya itu, karena semua itu tentu saja bukan murni hasil gagasan Miranda.
Beberapa waktu lalu, aku sempat membeli sebuah majalah dengan niat untuk mengintip isi ramalan bintang di majalah tersebut dan memang ide Miranda sudah ada di salah satu halaman mode di majalah itu. Kalau tidak salah, isinya bercerita tentang tema koleksi busana yang akan digemari tahun depan untuk musim panas. Ternyata Miranda mencontek ide tersebut.
Tanpa memberiku kesempatan untuk memperkenalkan koleksiku, Viviene yang sudah telanjur jatuh hati dengan ide Miranda, lalu ia langsung menutup sesi meeting pagi itu. Bukan main kesalnya hatiku.
Aku lembur malam ini untuk mengedit tulisan yang akan kami gunakan sebagai artikel di salah satu majalah fashion. Entah dari mana datangnya pikiran jahat itu, aku mengambil majalah yang di dalamnya terdapat ide yang dicontek Miranda. Aku scan halaman itu, lalu aku e-mail ke semua orang dari berbagai divisi, termasuk Viviene. Pikiranku heboh sendiri memikirkan reaksi Miranda besok pagi.
***
Akhirnya semua orang tahu soal akal licik Miranda dan tentu saja rancangankulah yang dipakai untuk koleksi tahun depan.
Hari ini adalah hari besarku. Puncak peragaan busana koleksiku akan digelar malam ini. Kami mengundang semua tamu dari segala penjuru dunia. Acara mewah ini diadakan di Madrid, Barcelona, di sebuah hotel mewah yang biasa menjadi tempat menginap orang-orang terkenal dan kalangan jetset. Sebuah pagelaran busana besar telah dipersiapkan untuk menampilkan koleksi baruku di bawah label Alexandria, dan namaku akan diperkenalkan sebagai desainernya. Panggung runway berbentuk melingkar sudah berdiri megah di sana. Tampak beberapa model dari seluruh dunia akan membawakan busana rancanganku.
Robert tengah sibuk mengatur semua model di sesi geladi bersih. Belakang panggung sudah penuh sesak dengan para model dan penata rias yang sibuk mendandani mereka di tengah tumpukan gaun-gaun yang telah diberi nama sesuai nama model pengisi acara. Musik sudah terdengar dan acara akan dimulai sesaat lagi.
Tampak Viviene dan Miranda duduk di barisan depan tepat di sampingku. Oke, inilah saatnya. Acara dibuka dengan lima orang model yang berjalan penuh percaya diri sebagai sesi pembuka peragaan busana bertajuk “The Summer of Lace” ini. Silih berganti semua model mengambil gilirannya di atas runway.
Tibalah puncak acara, saat pembawa acara akan mengumumkan namaku sebagai desainer kebanggaan Alexandria. “Para hadirin yang terhormat, dengan bangga kami panggil desainer di bawah label Alexandria untuk naik ke atas panggung megah ini!” teriak seorang pria pembawa acara. “Kami panggil ke atas pentas, Nona... Nona Miranda Fox!” ucap pria itu lantang.
Sontak aku kaget mendengar nama itu disebut. Drama apa lagi ini? Namaku sengaja diganti dengan namanya padahal semua itu adalah hasil jerih payahku! Aku mendadak mual dan segera kembali ke kamar, tak percaya dengan apa yang terjadi malam ini. Aku hanya ingin menangis di pelukan Jon saat ini.
***
Masih malam yang sama. Pintu kamar Jon diketuk dan tampak seorang gadis muda yang cantik membawa sebotol anggur untuk merayakan keberhasilannya.
“Hai, Jon, aku diundang oleh Amy untuk merayakan malam ini bersama kalian di sini,” ujar Miranda manja.
“Oh, saya tidak tahu Amy berniat merayakan malam ini dengan siapa pun,” ujar Jon setengah kebingungan. Lalu tambahnya, “Dia sendiri masih di kamarnya.”
“Bolehkah aku masuk?” Miranda berbasa-basi meminta izin sambil langsung saja menerobos masuk.
Ia menuju dapur, mengambil dua gelas anggur, memasukkan pil tidur di salah satu gelas kristal itu, lalu menuangkan isi botol yang dibawanya ke dalam kedua gelas itu. Ia dan Jon terlibat percakapan basa-basi sementara Jon sudah setengah mengantuk. Saatnya Miranda membuka baju yang dikenakan Jon.
Amy pasti akan meninggalkan Jon setelah kejadian malam ini, pikir Miranda.
Gadis culas itu mengambil telepon genggam Jon dan membuat panggilan tak terjawab ke telepon Amy dengan tujuan agar dia segera datang ke kamar Jon.
***
Aneh, mengapa Jon memutuskan panggilan teleponnya? Apakah ia tengah dalam keadaan yang tak sehat? pikirku di kamar. Aku harus ke kamarnya segera untuk melihat keadaan Jon!
Langkahku setengah berlari mengejar lift menuju lantai kamar Jon. Kudorong pintu kamar yang ternyata tak terkunci. Tak kusangka, mataku melihat Miranda tengah berbaring manja di atas dada Jon dengan hampir tak berpakaian. Aku mau menangis dan muak sekali melihat tatapan Miranda yang penuh hasrat ke arah Jon. Segera aku berlari meninggalkan kamar itu. Satu hal yang kutahu: aku harus segera pergi dari semua kegilaan ini.
Oh, kapan mimpi buruk ini akan berakhir…? batinku.
***
Sekarang, di sinilah aku berada, di kota kecil tempatku dibesarkan. Aku memutuskan bekerja sebagai editor lepas di sebuah surat kabar kecil bernama The Virginia Post. Aku bahagia berada di tengah kedua orangtuaku di rumah kami. Mungkin sudah jutaan e-mail dari Jon kuhapus pagi ini. SMS-SMS berisi permintaan maafnya pun tak aku hiraukan. Berkali-kali aku tolak telepon darinya. Aku sudah tidak mau melihat ke belakang lagi dan cincin itu pun sudah rapi kusimpan untuk dikembalikan kepada Jon melalui paket kiriman kilat.
Ting-tong, ting-tong…! Suara bel pintu rumahku terdengar berulang kali. Aku bergegas melihat siapa yang datang.
“Hai, Amy, apa kabar?” Suara manja itu membuatku terkejut.
Ya, siang tadi Miranda sengaja datang dari New York untuk menemuiku. Ia mengakui semua kebodohannya selama ini. Ia mengaku tidak pernah berniat merebut Jon dariku. Malam itu adalah salah satu drama yang sudah dipersiapkannya untuk mendepakku dari kerajaan Alexandria tersebut. Kini nama besar perusahaan itu tengah meluntur karena Alexandria sudah tidak mampu lagi membuat koleksi baju yang diminati para penikmat dunia mode.
Miranda pun menawarkan posisi menggiurkan kepadaku sebagai komisaris dan kepala pimpinan di sana menggantikan dirinya yang ingin pulang ke Prancis. Ia ingin menikah dan menjadi pengusaha restoran di sana. Aku juga kaget saat ia mengaku bahwa ia sengaja memasukkan pil tidur ke dalam minuman anggur Jon dan masuk ke kamar hotelnya tanpa diundang.
Sekarang aku menyesal setengah mati dan berusaha menemui Jon, namun sia-sia saja karena menurut teman-teman Jon, ia sudah keluar dari Alexandria dan memutuskan bekerja di luar kota.
***
Aku hanya dapat menunggu kabar yang tak pernah datang dari Jon dan ini sudah lebih dari tiga bulan lamanya. Tawaran Miranda belum sempat aku pikirkan lagi.
Tiba-tiba bel pintu yang berdering membuatku bergegas keluar dari kamar malam itu. Ibu yang sedang membaca novel kesukaannya sambil menemani ayah menonton siaran tunda pertandingan tinju di televisi tersenyum ke arahku, seakan sedang menyembunyikan sebuah rahasia kecil.
“Mengapa kalian tak membukakan pintu? Memangnya siapa yang datang?” tanyaku curiga. Namun, mereka hanya tersenyum-senyum.
Aku mengangkat bahu dengan bingung dan bergegas membuka pintu.
Aku kaget sekali. Kulihat pekarangan rumahku penuh dihiasi lampu-lampu kecil yang biasa kulihat pada hiasan pohon Natal keluargaku. Mungkin sampai ratusan jumlahnya. Terang sekali, berwarna-warni dan berkelap-kelip indah.
Lima orang pria membawa alat musik seperti akordion, gitar, dan harmonika, yang menurutku tampak sangat kampungan, dengan sigap langsung memperdengarkan harmonisasi nada-nada Love Me Tender milik Elvis Prestley yang lumayan merdu.
Lalu, seorang pria tampan mengenakan jas rapi dengan rambut pirang klimis dan senyumnya yang hangat muncul dari belakang pria-pria itu. Musik mendadak dipelankan. Pria itu mendekat sambil berlutut di hadapanku.
“Amy Hope, maukah kau menikah denganku?”
Jon, pria yang kumaksud tadi, bertanya penuh harap sambil melingkarkan sebuah cincin berlian yang sama seperti pertama kali ia melamarku di Central Park.
“Ya, aku bersedia!” jawabku dengan tangis haru.
Ia bangkit dan langsung memelukku erat-erat. Aku balas memeluknya, menumpahkan kerinduanku yang selama ini hanya bisa kupendam.
Tiba-tiba, suasana menjadi riuh rendah dengan tepuk tangan dan beberapa siulan dari orang-orang yang ternyata adalah para tetanggaku, termasuk kedua orangtuaku serta adik laki-lakiku satu-satunya, Derek. Oh, aku bahagia sekali…!
Dan, yang lebih membahagiakan adalah hadirnya seorang gadis cantik yaitu Miranda. Ia tampak berdiri tepat di samping kedua orangtuaku sambil bertepuk tangan dan berteriak kencang, “Hei, kalian berdua, aku sangat bahagia untuk kalian!” teriaknya.
Aku baru tahu kemudian, bahwa Miranda dan kedua orangtuaku sengaja merencanakan malam lamaran Jon kepadaku ini. Miranda telah bersusah-payah mencari tahu di mana Jon berada dan meminta maaf serta menceritakan semua ini agar Jon mau kembali lagi kepadaku.
***
Pagi ini, semua tampak begitu sempurna. Aku memandang ke luar jendela dari ruangan kantorku yang berada di puncak teratas gedung pencakar langit di Manhattan. Ruangan Penthouse megah ini memang ruanganku bekerja sebagai pimpinan sekaligus kepala desainer untuk rumah modeku sendiri yang berlabel AMY.
Ya, aku menolak ajakan Miranda tempo hari karena ayah Jon yang seorang konglomerat memberikan sebagian sahamnya untukku dan mertuaku itu selain sayang kepadaku juga tahu benar potensi yang ada dalam diriku. Jon tetap menggeluti pekerjaan yang ia cintai sebagai seorang fotografer. Kini, kami berdua tengah menantikan kelahiran anak kedua kami.

Aku adalah Amy Hope, si gadis pemimpi dengan setelan Gucci, yang selalu percaya ramalan bintang serta cinta sejati.

SEKIAN



Tentang Penulis:
Hendro Utomo, penulis dan motivator tunanetra ini lahir di Jakarta pada 8 Juli 1981. Gaya tulisan yang modern, lugas, dan deskriptif adalah ciri khas penulis yang lama berkecimpung di dunia media sebagai reporter dan editor, serta public relation ini. Mari berkenalan dengan Hendro Utomo melalui akun Facebook-nya: hendro.utomo1.

http://hendro81.mywapblog.com/the-fashion-jungle.xhtml

No comments:

Post a Comment