Support Hendro With Your Writings

Hendro Utomo is an Indonesian writer with glaucoma, then lost his sight because of it. Living with blindness doesn't make him giving up writing. This blog created to publish any kind of writings from Hendro Utomo and friends who love and continue to support him by sending their writings or writing for him on this blog. You can also publish your writings here to support him. How? Send your email to hendroutomo1981@gmail.com and spread these words.


Tuesday, October 2, 2012


Segalanya Pasti Berujung #1


Kecelakaan itu merenggut semuanya dari hidup Narita. Ayah, Ibu, dan kebahagiaan masa kecilnya. Harus menghadapi kenyataan itu di usia 10 tahun bukanlah hal yang mudah bagi Narita. Apalagi dia hanya memiliki seorang nenek yang usianya juga sudah sangat tua dan hanya bekerja sebagai seorang pembuat tikar anyaman dari bambu. Sejak meninggalnya ayah dan ibu Narita, ia tinggal bersama neneknya dan mengandalkan warisan harta orang tuanya untuk bertahan hidup dan melanjutkan pendidikan.

Cobaan itu tak lantas menjadikan Narita sosok yang lemah tetapi dia justru menjadi kuat dan mandiri. Dia menjadi dewasa lebih cepat dari usia yang sesungguhnya. Dia terbiasa bekerja keras mencari uang tambahan dan tidak menjadi anak yang manja.

Nenek Narita meninggal saat usia Narita 12 tahun. Usia yang masih terlalu muda untuk hidup sebatang kara di dunia seluas ini.

Narita melanjutkan hidupnya dengan jatuh bangun dan semua halang rintangnya untuk sekedar bertahan hidup. Dengan sisa warisan yang sudah tidak banyak lagi dan uang hasil kerja paruh waktunya di sebuah toko milik tetangganya, Narita bercita-cita untuk menyelesaikan sekolah SMP nya dan akan terus berjuang agar bisa lanjut ke SMA.

Segala macam usaha dijalani oleh Narita demi menyelesaikan SMP nya. Menjaga toko, loper koran, menjajakan gorengan buatannya sendiri, sebagai tukang ketik di rental komputer, guru les anak SD, guru privat menari, sampai tukang cuci pun pernah dilakoninya demi melanjutkan hidup dan menyelesaikan sekolahnya. Ejekan dan hinaan teman sekolahnya sudah tak ia gubris lagi. Dia sudah kenyang dengan segala macam cacian, makian, umpatan, sumpah serapah, hinaan, bahkan tamparan pun pernah ia terima karena statusnya yang memang sungguh mengenaskan itu. Walaupun sebenarnya masih ada Reza yang selalu membelanya. Tapi Narita justru menanggapi dingin bantuan Reza.

Reza adalah kakak kelas Narita yang sudah memiliki rasa pada Narita sejak Narita masuk ke SMP yang sama dengannya. Dia selalu menjadi sosok pahlawan saat Narita dalam kesulitan. Karena itu pula Narita pun memiliki perasaan yang sama pada Reza. Tapi Narita justru membohongi perasaannya sendiri karena perbedaan status mereka yang amat drastis. Ia justru menjauhi Reza karena merasa dia yang miskin ini tak pantas bagi Reza yang orang tuanya adalah seorang konglomerat. Apalagi Reza adalah cowok idaman para cewek di SMP tempat ia sekolah. Tak mungkin dia mampu bersaing dengan anak-anak orang kaya yang cantik-cantik itu. Dia tak pernah mengungkapkan perasaannya pada Reza dan juga tak pernah memberikan kesempatan bagi Reza untuk mengungkapkan perasaannya. Narita tak pernah bertemu lagi dengan Reza sejak Reza lulus, sedangkan Narita baru kelas 8. Reza dan perasaannya hanya berlalu sebagai kenangan.

Kerja keras Narita terbayarkan oleh prestasi yang dicapainya saat lulus SMP. Dia berhasil menduduki peringkat pertama paralel di sekolahnya. Karena prestasinya itulah ada sebuah keluarga kaya yang mengangkatnya sebagai anak dan menyekolahkan Narita di sebuah SMA favorit.

Kehidupan Narita memang berubah 180 derajat. Sekarang hidupnya serba berkecukupan tanpa takut kekurangan. Segala fasilitas telah dipenuhi oleh kedua orang tua angkatnya kecuali satu, yaitu kasih sayang. Ortu Narita sekarang tinggal di Sidney kerena urusan pekerjaan dan hanya pulang  ke Indonesia saat Hari Raya alias setahun sekali. Bukan karena hemat ongkos ataupun tak ada waktu. Tapi mungkin mereka lebih senang mengumpulkan uang disana daripada sekedar menemani anak angkatnya yang mereka anggap sudah bisa hidup tanpa mereka. Narita tidak mau ikut dengan mereka karena dia lebih suka tinggal di Indonesia walaupun akhirnya dia merasa kesepian.
Sekarang Narita sudah kelas XI. Sudah 2 tahun ini Narita menempati rumahnya yang luas bagai istana hanya bersama pembantu dan supirnya ditambah lagi satu orang satpam.

>>>>>>>>>> 

Entah mengapa hawa-hawa suram dari dalam rumah itu terpancar begitu kuat bahkan hanya dengan menginjakkan kaki di halamannya saja. Sebuah rumah besar bercat kuning gading dengan desain kayu yang bernuansa tradisional. Memang bagus dan tampak seperti rumah orang berpunya. Tapi semua orang juga tau bahwa yang ada di dalamnya adalah simbol dari kekejaman dunia dan ketidakadilan takdir, yang mungkin juga pernah dirasakan Narita.

“PANTI ASUHAN KASIH BUNDA”

Dari tulisan di papan putih yang sudah usang itu pasti semua orang juga tau apa yang ada di dalamnya. Anak-anak yang terpisah dari orang tua dan keluarganya dengan berbagai macam alasan. Anak-anak yang masa kecilnya bisa dibilang suram. Dan sekarang Narita berada di halaman rumah ini. Narita kesini untuk mencari sosok yang kemudian ingin sekali ia angkat menjadi saudara.

Niat Narita ini sudah mulai terpikir sejak setahun yang lalu. Kesepian benar-benar membuatnya merasa tersiksa. Berhubung dia anak tunggal dari ortu angkatnya, Narita pernah meminta ortunya untuk mencarikannya saudara angkat agar bisa dijadikan teman. Mereka bilang iya tapi sampai sekarang tak juga ada tindakan dari ortunya. Akhirnya 2 minggu yang lalu Narita memberanikan diri meminta ijin pada mama papanya untuk mencari sendiri saudara angkat. Dan kedua orang tuanya pun menyerahkan semuanya pada Narita. Mereka percaya bahwa Narita bisa melakukan semuanya sendiri. Karena memang jalan pikirannya sudah seperti orang dewasa.

>>>>>>>>>>> 

Bu Ning mengantarnya menyusuri lorong-lorong seperti yang pernah dilihatnya di kastil yang ada di buku cerita. Tapi bedanya lorong-lorong ini terang benderang dan dipenuhi tempelan-tempelan dinding yang kalau boleh ditebak pasti itu hasil karya anak-anak panti ini.

Bu Ning adalah pengelola panti yang diamanahi oleh pemiliknya yang sekarang tinggal di Malaysia untuk mengurus panti ini. Seorang wanita dengan wajah keibuan yang sudah mulai tampak kerut-kerut di wajah menandakan usianya sudah tidak muda lagi. Dan yang membuat Narita heran, di panti ini tak ada pegawai, hanya Bu Ning dan anaknya Yuli yang berusia sekitar 24 tahun yang merawat hampir 17 anak di panti asuhan ini. Sungguh wanita-wanita yang tangguh.

“Silakan……”
Bu Ning mempersilakan Narita untuk memasuki sebuah ruangan di depan mereka. Begitu Narita mengarahkan matanya pada apa yang ada di dalamnya, ia merinding. Ia melihat wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang mengatakan kerinduan kepada ayah dan ibu mereka. Wajah-wajah yang seolah merupakan cermin dari dirinya sendiri beberapa tahun yang lalu.

Di dalam ruangan itu Narita melihat anak-anak sedang berkumpul dengan aktivitasnya masing-masing. Membaca buku cerita, ada yang belajar, ada yang sedang bermain dengan alat-alat musik yang sengaja disediakan oleh pemilik panti, ada yang hanya berbincang-bincang seru bersama kawannya, dan ada pula yang hanya konsentrasi menonton TV. Wajah mereka seperti tak ada beban. Sepertinya tidak sesuram yang Narita bayangkan. Mereka tampak senang dan bahagia. Atau mereka memendam perasaan mereka? Tapi, wajah mereka yang lugu sepertinya tidak menyembunyikan sesuatu.

Narita mendekat pada mereka. Ia ajak salah satu dari mereka yang wajahnya dirasa paling lucu untuk sedikit ngobrol. Seorang gadis kecil dengan rambut kepang dua dengan hidung kecil dan bibir yang mungil. Narita pikir dia akan menjadi gadis yang cantik jika dewasa nanti. Namanya Fanny.

Narita mendekati anak-anak panti itu satu persatu. Mencoba mengira-ngira seperti apa mereka dari obrolan singkat dan pertanyaan-pertanyaan sama yang ia ajukan pada mereka semua. Jawaban mereka sungguh tampak lugu. Coba bisa Narita bawa semua anak-anak itu.

Mata Narita mulai lirik kanan lirik kiri memilih-milih mana yang cocok untuk dijadikan adik. Narita memandangi mereka satu persatu. Menimbang-nimbang, mengira-ngira, bertanya pada hati…..sampai kemudian….

Mata Narita tertuju pada sosok yang sejak tadi luput dari pandangannya. Seorang anak berusia sekitar 13 tahun sedang duduk di balkon ruangan itu. Sepertinya dia tidak terlihat karena tertutup oleh gorden.

Anak itu duduk memandang langit di kejauhan. Tatapan matanya kosong. Sungguh seorang anak yang tampan. Kulitnya yang agak hitam manis, hidung mancung, bibirnya yang merah mungil dan perawakannya yang tegap proporsional membuat penampilannya menarik walaupun dandanannya sederhana dan terkesan berantakan. Begitu terpananya Narita melihat anak itu sampai-sampai tak sadar Bu Ning sudah sejak tadi mengajukan pertanyaan yang sama padanya…

“Bagaimana, Mbak?”

Narita terkesiap melihat Bu Ning sudah berdiri sambil memandang heran.
“Eh….Ibu….Mmmmm…..itu siapa ya?”
Narita menunjuk pada sosok yang membuatnya terpana sejak tadi.

Bu Ning melihat ke arah telunjuknya kemudian menghela napas sebelum akhirnya tersenyum.
“Oh….itu Dicky…..”

“Kenapa dia tidak bermain bersama teman-temannya?”

“Dia seperti itu sejak dia datang kesini 6 bulan yang lalu. Dia belum pernah sekalipun bermain bersama anak-anak yang lain. Dan saya juga tidak pernah berhasil membujuknya bahkan untuk sekedar membuatnya tersenyum. Dia tak pernah mau bicara pada kami. Entahlah…..”

Tanpa mendengar penjelasan selanjutnya dari Bu Ning, Narita langsung melangkah menghampiri anak itu. Dicky….. Terlihat kesedihan yang begitu dalam di matanya. Entah apa yang dia sembunyikan.

Narita duduk di sampingnya lalu mengulurkan tangan dengan niat ingin mengajaknya bersalaman.
“Hai…..”

Tapi dia sama sekali tak merespon. Bahkan melirikpun tidak. Akhirnya Narita memutuskan memperkenalkan dirinya sendiri
“Hai….namaku Narita, kamu?”

Dia tetap tak melirik sedikitpun. Tapi Narita merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Dicky. Dan sepertinya hatinya mengatakan inilah yang dia cari. Narita bertekad akan meluluhkan hati Dicky dan membawanya pulang walaupun ia sudah merasa bahwa itu bukan hal yang mudah.

Narita tetap mencoba mengajaknya bicara. Menanyakan apa saja yang sekiranya bisa dia tanyakan. Tapi Dicky tak menjawab satupun dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan Narita. Beralih taktik, Narita tidak lagi memberi pertanyaan pada Dicky tapi Narita bercerita apa saja yang bisa dia ceritakan. Tentang langit yang indah saat itu, tentang Jakarta yang panas, tentang teman-temannya dan kesehariannya, bahkan tentang masa lalunya. Tapi sekali lagi Dicky tak memberikan respon sedikitpun hingga Narita merasa seperti orang bodoh yang berbicara sendiri. Bahkan saat Narita berjongkok tepat di hadapan Dicky pun ia sama sekali tak melirik padanya. Fiuh…..

Bu Ning memberikan isyarat agar Narita meninggalkan Dicky sendiri. Narita pun juga merasa tenggorokannya sudah kering setelah berbicara panjang lebar pada Dicky (walaupun tanpa respon sama sekali). Ia pun beranjak meninggalkan balkon dan berjalan menuju Bu Ning.

“Kenapa dia seperti itu, Bu?”
Narita menanyakan tentang sikap Dicky yang amat sangat dingin saat berjalan menuju ruang kerja Bu Ning.

“Mungkin dia masih terbayang wajah keluarganya yang dulu, Mbak.”

“Oh iya, Bu, kehidupan Dicky dulu seperti apa? Kenapa sepertinya dia memendam perasaan yang sangat sedih. Tatapan matanya seperti……”

“Kosong.”
Belum sempat Narita menyelesaikan Kalimatnya Bu Ning sudah melanjutkannya dan tepat seperti apa yang akan dia katakan. Narita semakin penasaran dengan anak itu.

“Enam bulan yang lalu dia saya temukan berjalan sendirian di daerah stasiun. Dia tampak kebingungan. Sepertinya mencari-cari orang tuanya. Saya pikir dia anak hilang. Saat saya tanya, dia bilang dia mencari ayahnya yang mengatakan akan membelikan minum untuknya dan menyuruhnya menunggu di ruang tunggu. Tapi Dicky mengatakan sudah hampir dua jam ayahnya tak kembali. Sepertinya ayahnya sengaja meninggalkannya. Saya sudah mencoba mengumumkannya di speaker stasiun tapi tak ada yang menjemputnya. Akhirnya saya bawa saja dia pulang. Saat itu tangannya benar-benar dingin dan gemetar, Mbak, kasihan….”

Narita mendengarkan dengan tak henti-hentinya merinding.
“Dia pasti sangat ketakutan.” Narita mencoba membayangkan apa yang dialami Dicky.

“Dicky bilang ibunya sudah meninggal saat dia masih bayi. Dia tidak pernah bertemu ibunya. Dia hanya tinggal bersama ayahnya. Entah kenapa ayahnya tega meninggalkan dia sendirian.”

Narita benar-benar merasa terhanyut dengan kisah hidup Dicky. Dia bisa merasakan apa yang dirasakan Dicky karena setidaknya dulu dia juga merasakan ditinggal orang-orang yang disayanginya. Tapi bedanya kalau dia dipisahkan oleh maut yang memang tak seorangpun bisa menolaknya. Tapi Dicky, dibuang oleh orang tuanya sendiri. Betapa sakitnya hati Dicky mengalami semua itu.

“Sepertinya saya ingin mengangkat dia jadi saudara saya, Bu.”

Bu Ning seperti tidak percaya dengan apa yang barusan dikatakan Narita.
“Tapi Mbak Narita kan sudah melihat sendiri keadaan Dicky. Bahkan dia sama sekali tidak menganggap Mbak Narita kan?”

“Saya akan terus mencoba meluluhkan hatinya. Jadi, mungkin saya akan sering-sering kesini nanti.”
Narita tersenyum meyakinkan Bu Ning.

“Oh iya tak apa-apa Mbak. Saya juga akan merasa senang jika akhirnya Mbak bisa mengajak Dicky bicara. Terus terang saya sudah mencoba berbagai macam cara tapi dia sama sekali tak bergeming.”

“Iya Bu, saya akan berusaha. Mmmmm……kalau begitu saya pamit dulu. Saya akan datang lagi lain waktu.”

“Oh iya silakan Mbak. Silakan saja kalau mau datang lagi. Kalau misalnya nanti saya sedang tidak ada di rumah, Mbak langsung masuk saja. Atau bisa minta diantar sama Yuli. Anggap saja rumah sendiri Mbak.”

“Iya Bu, terimakasih……mari Bu….”

“Iya, Mbak, silakan.”

Narita meninggalkan panti asuhan itu dengan hati yang teguh dan penuh semangat untuk meluluhkan hati Dicky. Dia benar-benar telah ‘jatuh cinta’ pada anak itu.

>>>>>>>>>>> 

Dua hari kemudian Narita datang lagi ke panti asuhan itu. Kali ini dia membawa berbagai macam makanan yang akan dia bagikan pada anak-anak panti.

Dia membagikan coklat, permen, kue dan makanan kecil lainnya pada anak-anak. Setelah itu dia menghampiri Dicky yang entah mengapa tetap berada di balkon dan duduk di tempat yang sama seperti saat pertama kali ditemuinya dulu.

“Hai Dicky….”
Narita mencoba bersikap semenyenangkan mungkin pada Dicky. Tapi seperti biasa Dicky tetap tidak begeming.”

“Mmmmm…..aku punya coklat buat kamu.”
Narita menyodorkan dua batang coklat pada Dicky. Jangankan menyentuhnya, mengalihkan pandangan saja sama sekali tidak. Narita pun berpindah posisi tepat di hadapan Dicky. Dia merayu dengan berbagai macam cara agar Dicky mau menerima pemberiannya. Segala macam rayuan, bujukan, dan kata-kata manis meluncur deras dari mulut Narita. Ekspresi ceria penuh harap pun tak mau ketinggalan dengan coklat yang terus teracung di hadapan Dicky.

Narita pikir Dicky akan melunak dan menerima coklat yang dia berikan, tapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Tanpa disangka Dicky bereaksi di luar dugaan. Coklat yang sejak tadi teracung di hadapannya tiba-tiba dia tepis secara kasar dengan kedua tangannya hingga terjatuh.

“PERGI!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Dicky berteriak amat sangat kencang dan tampak sangat terganggu. Tatapan matanya sekarang justru tampak sangat marah pada Narita yang sudah mengusik hari tenangnya.

Narita benar-benar tak menyangka Dicky akan bereaksi seperti itu. Dia terpaku menatap Dicky tak percaya saking kagetnya.

“Pergi!!!!!!!”
Dicky mengulangi bentakannya. Narita benar-benar tak menyangka. Dia pun meninggalkan Dicky perlahan dan masih tak percaya bahwa anak yang semula diam tak begeming bagai patung tiba-tiba membentaknya dengan amarah yang meluap. Narita pun pulang dengan perasaan yang amat sangat penasaran. Tapi semua itu tak justru membuat Narita menyerah tapi malah menambah tekadnya untuk bisa mengangkat Dicky menjadi adik.

‘Anak itu butuh kasih sayang. Dia tak boleh terus dibiarkan seperti ini atau dia akan semakin kacau‘, pikir Narita.

>>>>>>>>>>>>>> 

Sejak saat itu Narita justru semakin sering mengunjungi Dicky. Dia terus mengeluarkan segala apa yang dia bisa lakukan untuk menarik perhatian Dicky. Mulai dari membawakannya makanan, mainan, buku cerita, menemani Dicky seharian dan menceritakan apa saja yang dia alami seharian, mendongeng bahkan bernyanyi tak jelas pun dilakukannya setiap kali dia datang menjenguk Dicky.

Berbagai perlakuan yang tak menyenangkan dan reaksi yang tak mengenakkan dari Dicky pun seringkali dialaminya. Mulai dari bentakan, teriakan, diacuhkan seharian, ditinggalkan begitu saja, didorong dengan kasar sampai sekedar tatapan marah pun pernah dialami Narita.

Hampir dua bulan Narita terus berusaha mendekati Dicky tapi sepertinya hasilnya nol. Benar-benar tak ada perubahan sedikitpun. Narita mulai merasa lelah dan putus asa. Saran Bu Ning untuk memilih anak lain sepertinya harus mulai dipertimbangkan walaupun sebenarnya hatinya masih sangat amat ingin Dicky lah yang menjadi saudara angkatnya.

>>>>>>>>>>>>>> 

Hari ini ulang tahun Dicky, 18 Juni, Narita kembali menyempatkan diri untuk mengunjungi Dicky walaupun dia baru bisa ke panti sekitar jam 5 sore karena seharian tadi ia padat jadwal sekolah dan les. Tapi hari ini Narita mulai berpikiran untuk melirik anak lain yang bisa dia angkat menjadi saudara. Berat rasanya bagi Narita melepas Dicky. Tapi mau bagaimana lagi, kalau Dicky tak juga mau merespon. Dia juga tak ingin membuang waktu untuk meraih apa yang tak bisa dia raih. Yang penting kan sudah berusaha.

Narita datang dengan membawa kue ulang tahun yang akan dia berikan untuk Dicky. Seperti biasa dia menuju balkon ruang bermain dimana Dicky selalu menghabiskan hari-harinya tanpa bosan(itu juga yang membuat Narita heran).

Narita menuju balkon dengan semangat yang tinggal 1/4. Hhhhh….benar-benar sulit kalau mengingat bahwa dia harus melepaskan Dicky.

Langkah Narita terhenti sebelum sampai di balkon. Ada yang……

Dicky tidak ada disana. Kemana dia? Tidak biasanya dia tak menduduki singasana kebesarannya itu. Narita pun bertanya pada anak lain.

“Novi, liat Dicky ngga?”

“Ngga, Kak”, kata anak yang bernama Novi.

Narita terus bertanya pada anak-anak yang lain tapi tak ada satupun yang tau. Narita mulai merasa khawatir. Dia letakkan kue ulang tahun yang dibawanya di meja begitu saja dan langsung menuju ruang kerja Bu Ning. Tapi Bu Ning pun tak ada di ruang kerjanya. Narita mulai merasa panik. Dia menyusuri tempat-tempat yang dia tau di rumah itu, berharap bisa menemukan Dicky.

Dicky tak ada dimanapun. Narita tak bisa menemukannya. Sekarang dia benar-benar merasa takut terjadi sesuatu pada Dicky mengingat kondisi psikologisnya yang tak begitu baik.

Narita terus mencari dan mencari. Langkah kakinya juga semakin cepat seperti hampir berlari. Rumah itu sangat luas dan Narita hampir kelelahan berlari kesana-kemari. Tapi Dicky tetap tak ada dimanapun sampai akhirnya dia bertemu Yuli yang juga berjalan tergesa-gesa.

“Mbak Yuli…”
Yuli melihat Narita dan wajahnya tampak semakin panik saat melihat Narita.

“Ya Ampun Mbak Narita….”

“Kenapa Mbak?”
Narita jadi semakin parno.

“Dicky, mbak….”
Deg!!!!!! Jantung Narita terasa terhenti dan dia mulai merasakan sekujur tubuhnya merinding dan berkeringat dingin.

“Dicky kenapa, mbak?”
Narita bertanya dengan nada amat sangat panik. Pikiran buruk dan bayangan yang tidak-tidak mulai melintas di benaknya. Tanpa berkata apapun Yuli langsung menggandeng tangan Narita dan membawanya menuju halaman belakang.

To Be Continued
Bottom of Form

No comments:

Post a Comment